Film Panas, Cerita Panas, Berita Viral, Artis Seksi, Cewek Montok, Video Montok, Bola, Olahraga, Politik, Peristiwa, Otomotif, Bandar Bola, Terbaik, Agen Poker Teraman, Situs Casino, Togel, Bandar Online Terpercaya

Android4d Bo Togel Bonafit Terbaik Terpercaya Terjamin Aman   Wine4d Bandar Casino Togel Sgp Hk Sydney Australia Terpercaya Terbaik
Birtoto Bandar Togel Hk Sgp Sydney Turkey Teraman Terpercaya   Birtoto2 Togel Wap Terbaik Agen Toto Mesir Singapore Sydney Hk
Rajajp Bandar Togel Agen Togel Online   Diva4d Bandar Togel Situs Togel Agen Togel
kafetoto Bandar Togel Togel Online   Pasang Iklan Anda DISINI
Birasia Bandar Bola, Poker, Casino, Terpercaya Dan Teraman   Birpoker Agen Poker Indonesia Terbaik
Divapoker Agen Poker Online   Flamingo4d Situs Togel Terpercaya

Sabtu, 09 Februari 2019

Cerita Hot Terbaru Desaha Kenikmatan Gadis Berjilbab Saat Diperkosa


Cerita Hot Terbaru Desaha Kenikmatan Gadis Berjilbab Saat Diperkosa

Deringan lembut handphone di saku celana meminta perhatianku diantara kesibukan siang itu.

“Selamat siang, dr. Fran di sini.” sahutku menghentikan sejenak kegiatan membuat resume pasien siang itu.
“Siang dok, Ini Yuli, mau mengingatkan nanti sore ada meeting di pabrik dok.” sahut suara lembut di ujung sana.
“Oh ya, terimakasih, nanti saya akan datang.” tegasku.
“Terima kasih, selamat siang dok.”
“Siang.”

Demikianlah percakapan singkat siang itu sedikit mengusik keasyikanku dan sambil menunggu berlalunya waktu. Pikiranku melayang ke rencanaku selanjutnya selepas tugas. Yach aku harus ke tempat papa, pabrik garment di sekitar Pasar Rebo sana, sebab jam 4 sore nanti ada management meeting katanya.

Masih terngiang permintaan papa tadi pagi agar aku menyempatkan diri untuk dapat hadir dalam meeting tersebut. Yach, papa ingin aku mau terlibat dan meneruskan usaha yang telah papa rintis sejak dulu.

“Sore dok.” sapa Pak Budi satpam pabrik sopan ketika aku keluar dari mobil setibanya di pabrik sore hari itu.
“Sore juga, sudah ngumpul Pak?” tanyaku kemudian.
“Baru team Bandung, dok.” jelasnya seraya menutupkan pintu mobilku.
“Oh..,”

Sebagai informasi tambahan, saat ini group yang papa pimpin sudah punya 3 lokasi pabrik, satu di Pasar Rebo ini, satu di Bekasi dan satu lagi di Bandung. Kapasitas produksi yang paling besar adalah yang di Pasar Rebo ini. Masing-masing pabrik memiliki Factory Manager, tapi keseluruhan operasional ada di bawah management pusat yang berkedudukan di Pasar Rebo, Jakarta. Pabrik-pabrik ini semula adalah milik perusahaan lain yang kemudian diakuisisi oleh papa.

Pabrik yang di Pasar Rebo ini cukup luas, tanahnya saja kira-kira 20 m X 100 m, sedangkan yang jadi bangunan hanya 12 m X 90 m saja, oleh karena bagian depan untuk tempat parkir sedangkan sisi samping kiri untuk jalan masuk mobil box ke belakang, ke gudang maksudnya untuk bongkar muat. Di bagian depan terdiri atas 2 lantai, yang bawah menjadi ruang receptionist sekaligus show room, dan sedikit ruangan untuk departement designer dan pola, sedangkan di lantai 2 semuanya jadi kantor.
Dan seperti biasanya, begitu masuk aku langsung menuju ke kamar kecil. Kata orang, kamar kecil harus bersih dan itu mencerminkan bagaimana jalannya suatu perusahaan. Hal ini kucermati benar oleh karena pasar eksport kami juga sebagian ke negara-negara Asia yang memperhatikan benar masalah ini. Nampak semuanya baik-baik saja.

Setelah itu aku naik ke atas dan langsung masuk ke ruang kerja papa, tapi tidak ada papa di ruangan itu. Ketika aku mau keluar, sempat terlihat seberkas buku yang menarik perhatianku, dimana di sampulnya tertulis cukup besar dan menyolok ‘PT. Adi Busana Tirta Mandiri’ dengan warna biru dan juga tertulis jelas ‘CONFIDENTIAL’ yang berwarna merah.

Jadi aku masuk dan mengambil buku itu yang cukup tebal dan duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Kubaca-baca buku itu tanpa tahu apa maksudnya, tapi isinya ada profil perusahaan, susunan management, daftar list customer, pasar eksport, jatah quota tahun fiskal berjalan dan lain sebagainya, lengkap sekali. Yang menarik adalah pemilik dari perusahaan ini, yaitu Bapak Tedy Gunawan, yang punya anak perempuan Imelda Gunawan, Imel.

Aku pernah dekat dengan Imel, 2 angkatan di bawahku dari FE dan waktu itu aku sudah di tingkat 4, dan aku kenal dia saat aku mulai aktif di senat. Waktu itu aku mulai coba-coba aktif di kampus, biar bergaul sedikit gitu. Terus kami berkenalan waktu sama-sama aktif di organisasi kampus, tepatnya saat membentuk kepanitiaan, dimana aku sebagai perwakilan dari Fakultas Kedokteran dan dia dari Fakultas Ekonomi.




Dari situ aku sempat dekat dengan Imel dan beberapa kali main ke rumahnya, namun suatu kali bukan Imel yang menemuiku tapi Bapak Tedy Gunawan beserta nyonya. Aku sempat dikuliahin panjang lebar dech, dimana disinggung juga mengenai masa depan yang masih jauh dan perlu dipikirkan matang-matang, bukan hanya sekedar emosi dan lain-lain. Tapi inti yang dapat kutangkap sich hubungan kami tidak direstui, mungkin Bapak Tedy Gunawan hanya melihat dari sisi penampilan fisikku yang hanya mengendarai GL Pro.

Jadi hubunganku dengan Imel rasanya tidak sampai 3 bulan, dan celakanya waktu kucoba menemui Imel setelah kejadian itu, dia nampaknya segan untuk melanjutkan hubungan. Tidak lama setelah itu aku sering melihat dia jalan dengan Ramli anak Fakultas Tehnik, dengan penampilan lebih yahud dariku (kendaraannya Civic model terbaru saat itu).

Buat kusendiri yach tidak ada rasa sakit hati tuch, hanya kecewa saja. Gimana yach, namanya juga baru jadian, jadi belum membekas dan mendalam gitu, yach berlalu gitu saja tanpa kesan yang mendalam.

“Eh.., sudah datang. Sudah lama?” suara khas itu sedikit mengagetkanku.
“Baru Pa.., ini untuk apa?” tanyaku seraya menunjukkan buku yang sedang kubaca ini.
“Oh.., mau dijual tuch.” tukas papa pendek.
“Terus.. Papa berminat?”
“Memangnya kenapa..?” tanya papa berbalik.
“Gini dech.., biar Fran yang pelajari, oke..?” pintaku cepat.

Papa mengerutkan kening, tanda heran sekaligus tidak setuju.

“Gini Pa, saat ini kita memang punya 3 pabrik dan seluruhnya di bawah management kantor pusat ini. Fran kira kita punya tim management yang sangat solid, tapi perlu diingat hal ini sudah berlangsung cukup lama, dan kita perlu memikirkan peningkatan karier bagi para manager yang ada. Intinya Fran ingin mengembangkan mereka untuk masing-masing berkembang dan membentuk tim yang solid sekaligus membagi resiko.” jelasku menyakinkan.




Tidak tahu apakah papa menangkap maksudku atau tidak, tapi yang pasti dengan isyarat papa mengangkat bahu, itu sudah cukup.

Segera aku pergi ke ruang Pak Ferdinand, yang kutahu benar dia jago di bidang accounting dan sangat berpengalaman, beliau sudah bekerja dengan papa sejak perusahaan ini berdiri. Setelah basa basi sejenak, kuungkapkan keinginanku agar beliau mempelajari proposal PT. Adi Busana Tirta Mandiri tersebut dan kuminta jawaban itu minggu depan.

Dalam meeting juga tidak ada yang istimewa, semuanya seperti biasa, hanyalah hal-hal rutin (laporan masing-masing pabrik mengenai produksi, rencana produksi, kemudian dari marketing mengenai program kerja yang dijalankan dan rencana kerja, yang tentunya juga berkaitan dengan divisi kuota dan lain sebagainya).

Yang menarik justru issue yang dilemparkan oleh Bapak Yunus selaku personalia pabrik di Bandung yang mengungkapkan adanya rencana aksi buruh untuk menggoyang pabrik. Katanya gejala ini sudah melanda Bandung selatan dan mulai bergerak ke lokasi pabrik kami, provokatornya juga sudah menghubungi Pak Yunus dan mengungkapkan bahwa di pabrik kami ada tuntutan buruh, walaupun itu di luar normatif, namun mereka meminta agar kami mempertimbangkan masalah itu, bila tidak dipenuhi dapat terjadi demo.

Kesannya ini memang serius bahwa ada usaha untuk menggoyang, tapi seberapa jauh merasuk ke lingkungan pabrik. Pak Yunus belum dapat memberikan prediksinya. Usulku dalam meeting itu agar Pak Yunus dapat langsung menghubungi Pak Asep yang diinformasikan sebagai provokatornya, tapi aku yakin pasti ada orang lain di belakang Pak Asep itu, dan hal ini sudah kupesankan ke Pak Yunus untuk mencari tahu siapa dalangnya, lalu kami beli saja dia, daripada repot-repot mengurusinya, asal jangan terlalu mahal.

Buatku ini adalah masalah yang cukup serius, sambil nanti kami menginstropeksi di bagian mana yang perlu kami benahi untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, yang penting jangan sampai meledak dulu. Kalau sudah meledak akan sulit bagi kami untuk meredamnya, dan akan lebih mahal lagi kami membayarnya. Nampaknya semua setuju.

“Sore Pak Ferdinan, ini Fran, saya sedang menuju ke sana dan tolong siapkan laporan analisa Bapak mengenai busana, kita diskusi sore ini.” demikian pintaku melalui telephone sore itu.
“Baik dok.”

Demikianlah sore hari itu aku berdiskusi panjang lebar mengenai status financial dan prospektif dari perusahaan dengan Pak Ferdinan, serta beberapa kemungkinan pos-pos yang dicurigai, sehingga dapat menimbulkan neraca defisit demikian besar. Istilah kerennya sich studi kelayakan gitu, tapi dari sisi financial saja termasuk pos kuota yang terkenal pos basah untuk bermain dan korupsi. Selesai itu aku berdiskusi lagi masalah itu dengan papa dan juga mengenai visi dan misiku panjang lebar, dan akhirnya papa menyetujui dibentuknya tim sukses.

Tim yang kuminta adalah Bapak Riandha selaku Project Officer, beliau saat ini menjabat sebagai Export Director dan aku yakin beliau memiliki kemampuan memimpin yang baik, dan dari bagian itu juga sudah ada calon penggantinya, sehingga kalau Bapak Riandha kuambil untuk posisi Managing Director di BUSANA, bagian export tidak akan terganggu.

Kemudian dari finance kuminta Bapak Hernadi, beliau adalah binaan Pak Ferdinan yang merupakan calon potensial, tapi tidak akan naik posisinya selama masih ada Pak Ferdinan. Jadi kuminta beliau untuk menangani BUSANA.

Aku juga punya keyakinan bahwa Pak Riandha dan Pak Hernadi dapat bekerja sama dengan baik dan aku juga yakin dengan komposisi ini ditambah nanti dengan pilihan mereka sendiri aku akan punya tim yang tangguh untuk mengatasi persoalan yang membelit BUSANA selama ini.

Dua bulan setelah pembentukan tim itu, disimpulkan bahwa kami jadi untuk mengakuisisi PT. BUSANA ADI TIRTA MANDIRI dan pada keputusan akhir disepakati bahwa Bapak Tedy Gunawan masih menjadi board of Director, sedangkan aku sendiri sebagai Presdirnya. Itu juga atas rekomendasi Bapak Riandha yang menilai bahwa Bapak Tedy pada dasarnya memiliki kapabilitas untuk itu, hanya saja hampir seluruh director dan head departementnya dicopot, yang masih dipertahankan beberapa orang saja termasuk dari bagian marketing.

Ini asli aku tidak ikut campur tangan terhadap analisa dan pembentukan kepengurusannya. Aku hanya menyetujui saja. Jadi benar-benar murni bisnis atas dasar kemampuan Bapak Riandha selaku Managing Director yang baru yang kuberikan wewenang penuh untuk pembentukan dan negosiasi dengan backup dari aku dan papa. Memang agak terbalik, tapi aku percaya dengan loyalitas dan kemampuan Bapak Riandha, tentunya di samping itu aku juga sebenarnya tidak mengerti sekali urusan garment ini.

Bapak Riandha sendiri juga tidak mengetahui adanya latar belakang atau ambisi pribadiku untuk mengakuisisi perusahaan itu. Yang selama ini kutunjukkan kepadanya adalah bahwa sudah saatnya Bapak Riandha berkembang dan menunjukkan kemampuannya dan lepas dari bayang-bayang kesuksesan papa selama ini untuk memimpin. PT. Busana Adi Tirta Mandiri ini juga berada di luar group papa, sehingga tidak ada nama papa di susunan kepemilikan perusahaan ini sekaligus untuk membagi resiko, demikian argumentasi yang kuajukan waktu itu dan nampaknya dapat dimengerti oleh papa.

Yang seru sebenarnya waktu penandatanganan berita acara pengalihan kepemilikan, waktu itu memang sudah agak terjepit posisi Bapak Tedy terhadap bunga hutang dan hutang pokok yang sudah jatuh tempo serta perjanjian-perjanjian lainnya dengan pihak lain. Sehingga bilamana waktu itu aku mundur dari rencana semula, maka habislah riwayat Bapak Tedy, mungkin rumah dan harta miliknya akan disita oleh Bank. Tapi bila aku masuk dengan fresh money dan pengambilalihan saham kepemilikan, maka beban biaya menjadi tanggunganku, sehingga Bapak Tedy dapat terhindar dari tuntutan hukum itu.

“Selamat siang dok, ini Yuli.., mau mengingatkan siang ini dokter di tunggu di kantor Busana,” demikian pesan sekretaris papa.
“Oh ya, sebentar saya menuju ke sana.” aku memberikan kepastian.
“Dok.., Riandha nich..!” tidak lama setelah Yuli telpon, Bapak Riandha juga mencoba untuk mengingatkan aku bahwa siang itu aku harus menandatangani berita acara jual beli sekaligus serah terima kepemilikian perusahaan.

Kulirik jam tanganku, hehehe.., aku memang terlambat hampir 1 jam dari yang seharusnya. Yach, memang selain aku sengaja terlambat, sebenarnya aku juga tadi banyak pasien, sehingga aku baru selesai lebih siang dari biasanya.

Kalau dibilang sport jantung, mungkin ya sekarang adalah waktunya buat Bapak Tedy karena kasus ini adalah sangat krusial sekali baginya. Kalau sampai gagal aku membeli BUSANA, maka habislah dia, tapi begitu kutanda tangani itu, hilang bebannya.

Begitu aku sampai di kantor BUSANA, seperti biasanya yang pertama-tama kucari adalah WC dulu, selain memang aku mau pipis, aku juga mau melihat kebersihannya. Hhmm.. ‘lumayan’. Suasana di kantor itu juga aku dapat merasakan adanya ketegangan dan nampak banyak bunga di sudut-sudut ruangan, sedangkan di show room memang tidak banyak pengunjung, dan pelayanannya juga nampak terganggu, mungkin masih menunggu kepastian akan nasib mereka sebagai karyawan.

Puas melihat-lihat, ini sebetulnya adalah pertama kalinya kunjunganku ke kantor BUSANA, sehingga aku sama sekali tidak tahu mengenai seluk beluk gedung tersebut. Aku kemudian menuju ke meja receptionist.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?” tanya receptionis tersebut sopan.
“Hhmm.., kalau ruang Bapak Tedy di mana?” aku balik bertanya.
“Bapak darimana yach, dan apakah sudah ada appoitment?” masih receptionis tersebut bertanya, dan ..,
“Nampaknya Bapak Tedy sibuk sekali hari ini dan sulit ditemui.” demikian penjelasannya lebih lanjut.

Belum sempat aku memberikan penjelasan kepadanya lebih lanjut, tiba-tiba, “Selamat siang dok,” sapa suara itu dari punggungku.

“Selamat siang,” sahutku secara refleks sambil membalikkan tubuhku untuk mengetahui siapa yang menyapaku.
“Oh.., kamu Ris,” sahutku selanjutnya seraya menyambut uluran tangannya.
“Gimana kabar kamu?”
“Sehat dok.”

Gadis ini, Risma, ia adalah sekretaris dari Bapak Riandha dan mungkin dia dipilih kembali oleh Bapak Riandha untuk mendampinginya di perusahaan Busana ini.

“Mari jalan sini dok.” sahutnya kemudian menunjukkan jalan.
“Selanjutnya nanti kamu kerja di sini?”
“Benar dok.”

Demikian perbincanganku bersama Risma sambil berjalan menuju ke ruang meeting yang telah ditentukan sebagai tempat acara diiringi dengan tatapan heran si receptionis. Bingung kali, kok bossnya masih muda. Memang aku masih muda lho.., ganteng lagi.

Begitu aku masuk ruangan meeting tersebut, seluruh kegaduhan yang ada mendadak senyap dan aku melihat di bagian depan ruangan telah duduk di sana Bapak Riandha, Bapak Tedy dan masih tersisa sebuah kursi kosong lagi yang tentunya adalah tempat dudukku. Di sekelilingi ruangan itu juga sudah penuh dengan beberapa peserta pertemuan siang ini yang menjadi saksi pengalihan kepemilikan perusahaan. Beberapa diantaranya kukenali sebagai staf ataupun head of department di kantor papa.

“Selamat siang semua.” sapaku kepada seluruh orang yang ada di ruang tersebut.
“Selamat siang Pak.” balasan serentak diberikan mereka kepadaku.

Segera aku mengikuti langkah Risma menuju ke tempat dudukku yang ditunjukkannya.

“Selamat siang dok,” sapa Bapak Riandha menyambut kedatanganku.
“Siang.”
“Pak Tedy, perkenalkan ini dr. Fran.”

Dapat kulihat bagaimana pucatnya Bapak Tedy Gunawan, yang dahulu arogan dan pernah mengatakan bahwa masa depanku masih panjang, sekarang berada sebagai pihak pembeli dari perusahaan yang hampir bangkrut yang dipimpinnya. Walaupun dari hati terdalam harus kuakui bahwa modal yang diberikan ini juga masih dari papa.

“Kaa..uu,” lirih sekali suara Bapak Tedy seraya memberikan tangannya dan bergetar.
“Yach.., gimana kabar Pak Tedy, Tante dan juga Imel?” sapaku selanjutnya.
“Ba.. baik..,” kegugupan dan kebingungan tentu masih melanda dirinya.

Kemudian acara protokeler pun dimulai dan waktu itu aku tidak menyinggung atau berbicara banyak dengan Bapak Tedy, hanya aku bilang dalam kata sambutan waktu itu bahwa aku menaruh kepercayaan penuh kepada Bapak Riandha untuk menjalankan perusahaan itu dan beliau mengerti dengan baik akan misi dan visiku untuk perusahaan dan aku percaya beliau mampu menjalankannya dengan baik.

Aku selaku Presdir tidak akan terlalu banyak untuk campur tangan dalam urusan ini, disamping tentunya sudah ada board of director yang tumbuh dan besar di bisnis ini, jadi silakan bekerja dengan baik dan berkarya untuk aktualisasi diri.

Selesai acara protokoler pun aku hanya sempat makan sedikit sebagai bagian dari acara itu dan aku sempat mengucapkan selamat bertugas untuk Pak Riandha dan segera pergi untuk melanjutkan kerjaku, praktek.

Usapan jari-jari lembut di punggungku dan hembusan napas hangat dekat tengkuk membangunkanku dari tidur siang.

“Hhmm..,” desahku menikmati kelembutan itu.

Sementara lagu ‘Beautiful Girl’-nya Jose masih terus mengalun lembut mengisi kamar tidurku, rasanya malas sekali untuk berbalik dan mengetahui siapa yang melakukan ini untukku.

Mataku juga rasanya susah diajak untuk membuka setelah semalaman aku tidak dapat tidur. Entah rasanya ada suatu perasaan yang membuatku tidak enak dan mood sedang benar-benar down. Tapi usapan lembut kali ini yang sudah lama tidak kurasakan, rasanya sedikit memberikan ketenangan dan ingin rasanya aku dimanja dan dipeluk.

Kecupan basah dan hangat sekarang menggantikannya mulai dari pundak kananku terus ke tengah dan ke kiri, berputar sejenak di situ kembali ke tengah dan naik ke tengkuk, perlahan berirama membuatku mendesah nikmat dan sejuk. Tenang rasanya, damai. Usapan jari lentik itu kini mulai beralih turun ke punggung bawah dan terus turun menuruni bukit gundul kupunya. Astaga nikmat benar, ada untungnya juga nich kebiasaanku untuk tidur bugil.

Tidak lama kemudian disusul dengan jilatan kecil dan hisapan lembut yang mengiringi usapan lembut itu untuk terus turun ke bawah dan menyingkapkan selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhku. Desah nafas tertahan dan embusan hawa hangat kembali menjalari telinga kanan belakangku disertai dengan jilatan basah dan desah napas yang mulai memburu, kemudian berpindah ke tengkuk bagian atas.

“Hmm..,” desahku tertahan seraya membalikkan kepala dengan mata masih terus terpejam.

Sekarang giliran telinga kiri belakangku yang dapat giliran, dan bau parfum halus mulai kusadari dan membangkitkan gairah hidupku, terutama yang bagian bawah walaupun tertahan, namun kemudian menghilang.

Gerakan jari lentik itu sekarang sudah mencapai paha bagian dalam dan terus turun ke bawah hingga ujung kaki, naik melalui punggung kaki dan terus naik dengan gerakan halus kanan dan kiri menyusuri bagian dalam pahaku dan berhenti sejenak di selakanganku, berusaha untuk mencapai namun sulit tertutup oleh tubuhku yang cukup besar. Tidak berusaha untuk mencapainya ternyata, dan sekarang yang kurasakan adalah bantalan halus yang mulai menindih punggungku.

Dengan gerakan perlahan kurasakan sentuhan kulit perutnya yang mulai bergerak naik dan terus hingga kurasakan adanya sentuhan bukit kembar yang menempel pada punggung atasku, sejenak dan lenyap tertindih seluruh tubuhnya. Dan sekarang jilatan kembali bermain di tengkukku, serta usapan lembut jari-jari lentik yang bermain di rambutku. Kembali parfum lembut itu menebar aroma khasnya dan dengan segala kelembutan yang diberikan itu membuat gelora hidupku terpacu untuk bangkit dan menyala kembali.

“Ach..,” desah napas tertahan berdenging di telinga kiriku.
“Hhh.. mm..,” balasku manja.

Hei.., secara tiba-tiba aku tersentak dan baru menyadari bahwa parfum ini bukanlah milik Sandra pacarku saat ini. Parfum Sandra adalah White linennya Estee. Walaupun sama-sama lembut, tapi yang ini belum kukenal. Segera kubalikkan badanku, dan astaga..

“Ii.. mel..?” seruku terkejut.
“What are you doing?” tanyaku selanjutnya setelah berhasil mengatasi kekagetanku.

Imel hanya tersenyum manis dan segera kembali naik ke pangkuanku yang tadi terjatuh gara-gara aku berbalik. Imel tampil benar-benar polos, tubuhnya putih mulus dengan buah dada berujung merah muda segar, tidak terlalu besar tapi kencang menempel. Sementara hutan lebatnya berusaha menarik masuk burungku ke dalam kegelapannya, tapi karena gelap dan terkejut burung itu terus menunduk dan mengecil, lenyap bagai tertiup angin malam dan tetap berada di luar jangkauan hutan lebatnya.

“I want to say thank you,” katanya berbisik manja di telingaku, tentunya dengan menunduk sehingga seluruh buah dadanya menempel hangat di dadaku.

Debaran di dadaku tidak mampu menutupi hal itu yang kuinginkan juga.

“Mel..,”
“Sstt..,” tukasnya seraya memberikan jari tengah tangan kanannya menutup bibirku.

Sementara tangan kirinya sekarang bergerak lincah menyelusuri dada bidangku, mengusap dengan lembut menelusuri permukaan kulitku.

Diantara kebimbanganku antara nafsu dan logika, burungku perlahan mulai bangkit kembali dan memasuki hutan lebat itu. Imelda terus menyunggingkan senyum manisnya seraya memainkan jari lentiknya terus menjelajah permukaan kulitku perlahan dan lembut. Tidak banyak yang dapat kulakukan saat ini selain memandang tubuh bagian atas dari Imel yang nyaris sempurna, berkulit putih dengan rambut panjangnya yang terurai, hidungnya mancung, bulu mata lentik dan bibirnya berwarna merah, lipstik kurasa, tapi tidak norak dengan puting susu berwarna merah muda tepat di tengah payudaranya yang memuncak kencang.

Perlahan aku juga mulai menyentuh pinggang Imel dan mulai bergerak naik hingga mencapai kaki gunung itu dan segera ditepis oleh Imel.

“Fran.., lo diam aja, gue yang mo kasih buat lo..!” bisiknya perlahan dengan senyum yang terus menghias bibirnya.

Tulus dan tanpa terpaksa aku dapat menangkap kesan itu dari sorot matanya yang mulai sayu. Namun itu tidak kuindahkan, kembali tangan gue bergerak menyentuhnya. Kali ini Imel tidak menolak lagi, dan jemariku juga bergerak menyusuri hingga leher jenjangnya dan turun naik di antara kedua bukit kembarnya berjalan memutarinya perlahan pasti dan berakhir dengar puntiran di kedua putingnya.

“Ach.. Fran..!” pekiknya tertahan.

Sekarang pantatnya juga mulai bergerak menggosok sepanjang batang leher burungku untuk membelah bibir jurangnya, perlahan-lahan dengan irama tetap. Tidak lama bibir itu menjadi semakin basah dan Imel menengadahkan kepalanya mencari sensasi nikmat, sementara jemariku bermain di belahan tengah lehernya yang putih jenjang dan terus turun membelah bukitnya dan berakhir di perutnya yang masih kencang tanpa lemak.

Perlahan kutarik kepalanya dan mencoba mendekati bibirnya yang sekarang terbuka kecil dengan dengus napas yang mulai kehilangan irama tetapnya. Parfum khas halus itu kembali menerpa hidungku dan segera kudapatkan bibirnya. Kusentuh perlahan dengan bibirku sebelum kulalap dengan sedikit buas. Kuteroboskan lidahku membuka celah bibirnya dan mencari lidahnya disertai sedotan kuat seperti vacuum cleaner. Imelda membalas dengan memberikan kebuasannya dan bibir mungilnya itu mendapatkan sesuatu yang memberikannya kepuasaan tersendiri.

Napas Imel semakin memburu, dan terus berpacu diantara pagutan lidahku dan gigitan kecil serta jilatan di bagian belakang telingannya. Matanya terpejam, namun degup jantung terus berpacu memompa darah ke seluruh penjuru pembuluh darah yang ada.

Tiba-tiba Imel bangkit dan memegang burungku untuk dibimbingnya memasuki sarang yang sekarang telah siap dibangunnya sejak tadi. Perlahan burung kejantananku sekarang memasuki sarang kecilnya dan terasa ada lipatan-lipatan kecil di dalam yang harus burungku buka untuk mencari dasarnya. Terus masuk dan tenggelam burungku disertai dengan bibir tipisnya yang tidak kuasa ikut terlipat masuk ke dalam.

“Fran..,” desahnya perlahan di sela napasnya yang memburu.

Kemudian secara perlahan Imel mulai bergerak naik turun mencari kesesuaian irama napasnya, sementara tanganku masih aktif terus memainkan peranan pentingnya untuk mengeksplorasi buah dadanya.

Gerakan naik turun itu perlahan tapi pasti makin binal dan cepat, sementara buliran keringat mulai muncul pada bagian pundak Imel yang segera tersebar cepat ke punggung membasahi rambut panjangnya dan sebagian juga menempel pada leher jenjang di bagian depan. Gerakan naik turun itu juga memicu hentakan ringan pada payudara yang sekarang juga nampak berkilat berselimutkan keringat yang tidak dapat disembunyikan telah memicu seluruh kelenjar tubuh untuk ikut aktif memainkan peranan pentingnya mencari sensasi nikmat.

Usapan dan belaian tanganku yang sekarang berbalur keringat menambah semangat dan nafsuku untuk terus bergerak merambat naik, dan rintihan halus Imel meningkahi birahi yang terus meninggi.

“Ach.. Fran, gue hampir.. ach.. ach.. Fran..!”

Sekarang Imel tidak lagi duduk di pangkuanku, tapi sudah menidurkan tubuhnya di atas tubuhku dengan jemarinya yang terus meremas rambutku, sementara pantatnya masih terus mempertahankan iramanya.

“Fran, gue.. ach.. ngga tahan..! Fran kasih buat gue.. ach.. ach.. hm.. ugh.. ugh.. ugh.. ach.. ach..!” desahnya mengiringi gerakan tubuhnya.

Tiba-tiba Imel kembali duduk di pangkuanku dan bergerak makin cepat dan makin binal dengan tengadah dan menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan kiri yang diakhiri dengan teriakan panjang tertahan.

“Acchh.. Fraann..!”

Hentakan pantatnya berusaha menekan semaksimal mungkin pantatku. Gerakan otot sirkuler vaginanya berdenyut cepat dan kencang yang kemudian perlahan mereda diikuti dengan ambruknya tubuh Imel menindih tubuhku. Jemari Imel bergerak dan berusaha membelah jemariku, dan digenggamnya dengan erat.

Sesaat kemudian kubaringkan tubuh Imel di sampingku, dan sekarang bibirku kembali bergerak merasakan asinnya keringat Imel di lehernya, terus menyusuri tepi belakang rambutnya.

“Fran.. ach.. ach.. ugh.. hhmm,” desah birahi Imel yang kembali naik.

Perlahan kucabut burungku, walaupun Imel masih berusaha menahannya, namun kubalikkan tubuh Imel dan sekarang dia tidur telungkup. Sementara itu jemariku kembali bergerilnya menyelusuri tubuh berkeringatnya, licin namun memberikan sensasi tersendiri. Bau khas parfum bercampur keringat seperti itu dapat terus mempertahan kejantananku.

Kemudian masih dalam posisi tidur telungkup itu kuselipkan burungku dari belakang.

“Egh.. hhmm.. ach.. ach.. ach.. Fran.. enak.. ach..!” rintih Imel tertahan.

Hanya dengus napas memburuku sebagai jawaban dari rintihan Imel, dan perlahan aku mulai mengocok lagi seraya menikmati betul gesekan leher burungku di sarangnya. Keluar masuk, keluar masuk, perlahan dan semakin lama semakin cepat seiring dengan lenguhan Imel yang semakin panjang.

“Ach.. ugh.. ugh.. ugh.., Fran.., terus.. ach.. ach..!”

Hingga suatu saat, kucabut dan segera kubalikkan tubuh Imel menghadap ke arahku dan segera kupentangkan kakinya lebar-lebar dan kuraih betisnya untuk segera kunaikkan ke pundakku. Terbuka sudah hutan basah itu dengan bibirnya yang masih terpecah menganga dengan warna merah muda dominan di bagian dalamnya, sedangkan bibirnya berwarna lebih tua dan bengkak, nampak besar bibir itu tidak sebanding dengan panjangnya.

Namun pantat itu tidak dapat diam, terus menggeliat, mencari cengkraman yang hilang.

“Fran.., cepet, gue.. ach.. ngga.. tahan.. ach..!” pinta Imel seraya terus mengangkat-angkat pantatnya berusaha menutupi kegelisahan dan kekosongan liangnya.

Dengan gagah dan sedikit sentakan kuat segera kuhunjamkan batangan itu masuk dan menyentuh hingga ke dasarnya.

“Aacchh..!” desah Imel terpuaskan.

Sementara aku segera memompa dengan kecepatan tinggi yang terus meninggi hingga batas tertentu yang kurasa pas untuk kupertahankan untuk beberapa saat. Hingga pada suatu kesempatan, kepala Imel terangkat dan segera menghisap kuat dadaku hampir bersamaan dengan hentakan kuat batanganku sebelum melepaskan pelurunya tepat di dasar vagina Imel.

“Fran..,” rintihnya halus bersamaan dengan ambruknya tubuhku menindih tubuh Imel setelah sebelumnya kubiarkan kaki Imel turun dari pundakku.

Lemas rasanya seluruh tubuhku, dan genggaman Imel di antara jemariku memberikan sensasi tersendiri. Kulit kami yang berkeringat juga memberikan rasa licin yang menambah kehangatan yang ada, dan tentunya juga bau khas keringat nafsu.

Gerakan daun pintu kamar sempat tertangkap oleh sudut mata Imel saat dia membuka matanya, sehingga secara reflek dia menoleh ke arah pintu kamarku yang tidak terkunci tersebut. Reflek aku juga ikut menoleh dan.., masih sempat terlihat Sandra ada di balik pintu itu sebelum dia tutup karena terkejut, tidak kalah terkejutnya dengan aku juga.

Segera aku bangun dan meraih celana pendek serta kaos yang kusampirkan di kursi belajar tadi, dan segera aku keluar kamar. Tidak ada. Bagai lari kesetanan aku meloncati 3 sampai 4 anak tangga sekaligus dan mencari keluar, namun ketika aku sampai di luar hanya ekor dari Honda Civic coklat susu model terbaru yang sempat kulihat.

Segera aku masuk dan menelpon, tentu ke HP Sandra yang kutuju, tapi tidak ada respon. Wah, pusing aku. Hancur lagi dech hidupku. Aku terduduk di kursi ruang tamu tanpa tahu apa yang harus kulakukan, bengong seperti orang bego habis ketangkap basah, mau apa lagi..?

“Siapa Fran..?” suara lembut dari belakang itu menyadarkanku bahwa masih ada orang lain di rumah ini.
“Sandra.., cewe gue,” sahutku pendek.
“Ooppss..,” ada nada sedih, “Fran, apa yang bisa gue bantu?” tanya Imel lirih.
“It’s OK.., lo pulang aja dech..!”
“Fran..?”
“Gue ngga pa-pa kok..,” sahutku lirih seraya berusaha memberikan senyum untuk meyakinkannya.

Yach.., ini juga salahku, dan aku tidak mungkin menyalahkan Imel oleh karena tadi aku juga mau melakukan itu. Kemudian memang kebiasaanku dari dulu, siapa saja yang cari aku di rumah ini berarti temen dekat, dan biasanya mereka akan langsung naik ke kamarku. aku juga tidak dapat menyalahkan Pak Prapto, tukang kebun, atau Bik Imah, pembantu rumah ini, karena sudah tahunan mereka bekerja dan semuanya tahu kebiasaanku, kalau teman-temanku yang tahu rumah ini biasanya langsung ke kamarku. Kalau bukan teman dekat mereka tidak akan tahu rumahku yang ini, jadi aku juga tidak dapat menyalahkan mereka.

“Fran, gue sebenarnya mau ngucapin terimakasih lo udah bantu kesulitan keluarga gue,” kata Imelda perlahan.
“Yach..,” sahutku pendek.
“Sorry Fran, atas kejadian ini.., kalau lo butuh gue untuk jelasin ke Sandra nanti call gue yach..!” pinta Imel merasa bersalah.
“Oke,” sahutku pendek.

Dan setelah itu Imel pun segera pergi dan berlalu.

Segera setelah Imel pulang, aku mencoba menghubungi Sandra lagi via HP, tapi tidak aktif. Akhirnya aku mandi dan segera pergi ke rumah Sandra.

“Sore Tante,” sapaku ketika pintu rumahnya terbuka.
“Sore.. wah Fran, Sandranya ngga ada di rumah nich, katanya mau ke rumah kamu?” jelas ibunya Sandra kebingungan melihat kedatanganku.
“Eh.., anu Tante,” bingung aku mau bilang apa lagi, “Oh.., belum pulang Tante dari tadi?” tanyaku selanjutnya.
“Belum tuch,”
“Oh..ya udah Tante, biar Fran cari dulu.” sahutku seraya ingin segera berlalu.

“Ribut lagi, Fran?” penuh selidik beliau bertanya.
“Eh.. ngga Tante.” sahutku menyangkal.

Tapi senyum beliau yang memaklumi menyelamatkan perasaan kacauku yang sesungguhnya berkecamuk bagai badai di dalam dada. Ach.., memang aku yang salah.

Beberapa tempat sudah kucari, mulai dari teman dekatnya Sandra hingga beberapa tempat yang biasa dia kunjungi, tapi batang hidungnya tetap tidak nampak. Sampai jam 12 malam lebih aku masih berusaha mencarinya. Sudah kuminta juga bantuan teman dekatku untuk menginformasikan keberadaan Sandra bila mereka melihatnya, tapi tetap tidak ada berita, seperti hilang di telan bumi, sementara di rumahnya tetap belum pulang.

Hingga pada jam 24.45,

“Malam.. Fran..?” suara lembut di seberang sana memanggil namaku ketika telpon itu kuangkat.
“Malam Tante, gimana sudah ada berita dari Sandra?” tanyaku cemas setelah aku dapat memastikan bahwa itu adalah telpon dari ibunya Sandra.
“Baru saja Sandra telpon, katanya dia ngga pulang malam ini, tapi ngga mau bilang tuch dia ada dimana.” jelas beliau.

“Oh.., tapi ngga kenapa-kenapa Tante?”
“Ngga ngomong tuch, cuma tadi pesennya ngga pulang aja malam ini.”
“Oh..”
“Ya sudah.., kamu pulang istirahat sana..!” pesan beliau sebelum mengakhiri percakapan di telpon malam itu.
“Baik Tante. Terimakasih dan selamat malam.” sahutku kecewa.
“Malam.” sahut suara di ujung sana.

Sampai 2 hari aku tetap tidak dapat menjumpai keberadaan Sandra, walaupun dia tetap telpon ke rumahnya, dan tentu saja hidupku semakin kacau. Gila.., satu urusanku belum dapat teratasi, perasaan salah itu kini bertambah lagi dengan kesalahan fatal yang kuperbuat sendiri. Semakin down rasanya, ingin menangis rasanya. Justru di saat aku susah gini, tidak ada teman yang dapat menghiburku. Tidak ada tempat aku dapat berkeluh kesah dan bermanja. Apakah semuanya salahku..? Memang aku sich yang salah.

4 hari setelah kejadian yang memalukan itu, ketika aku baru bangun tidur siang dan turun ke bawah untuk cari makan,

“Den Fran.” panggil Bik Imah.
“Ada apa Bik?”
“Tadi Nak Sandra datang tapi ngga masuk, dia cuma titip ini sama Bibik, katanya minta disampaikan ke Den Fran.” sahutnya hati-hati.
“Apa?” bagai disengat kalajengking aku terkejut.
“Kok Bibik ngga bilang sich?” sahutku ketus menyalahkan seraya mengambil bungkusan kecil yang disodorkan oleh Bik Imah.
“Nak Sandra bilang ngga perlu Den.” sahut Bik Imah takut.
“Ya sudah.”
Memang aku juga tidak dapat menyalahkannya.

“Ada apa yach Den, kok mata Nak Sandra juga bengkak begitu kaya abis nangis.” jelas Bik Imah selanjutnya.

Mataku yang melotot sudah cukup untuk membungkam pertanyaan selanjutnya dari Bik Imah, dan tubuh ringkih itu segera pergi kembali ke dapur menuju habitatnya.

Isi dari bungkusan itu adalah selingkar cincin yang pernah kuberikan ke Sandra sebagai tanda cintaku saat pesta valentine tahun lalu. Aku beli cincin itu sepasang, satu buat Sandra dan satu lagi buat kupakai, yang sekarang sudah dikembalikan. Aku mengerti ini artinya Sandra sudah membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan kami, tapi rasanya aku belum puas kalau aku belum bertemu langsung dan berbicara dengannya.

Sore-sore aku datang lagi ke rumahnya dan menunggu lama, hampir 1 jam sebelum akhirnya Sandra keluar dan menemuiku.

“San..,” panggilku lirih.
“Ngapain lo datang-datang lagi?” sahutnya ketus.
“San.., gue mo minta maaf, gue bener-bener minta maaf dan gue mo jelaskan ke loe.”
“Mo nyangkal?” sahutnya tetap ketus.
“Ngga.. San, gue emang salah, tapi gue mo lo juga tau permasalahannya dan baru lo ambil keputusan.” pintaku memelas.
“Ngga perlu, biar gimana hati gue udah terluka dan gue ngga mungkin jalan sama lo.”
“San, tolong berikan kesempatan buat gue sekali lagi.” masih aku mencoba meminta.
“Sudah selesai dan tak ada penyesalan.” senyum dingin menghias bibir Sandra kali ini.

Ketegaran telah nampak di sikap Sandra, dan memang biasanya sulit sekali mengubah keputusannya. Aku sudah menceritakan semuanya ke Sandra tentang masalahku mulai dari kasus Irene yang selama ini kutanggung sendiri sampai juga ke soal Imelda yang akhirnya dipergokinya itu, namun semuanya tetap tidak mengubah pendiriannya untuk tetap mengakhiri hubungan kami. Aku juga sudah minta agar Sandra mau berpikir lagi 2 atau 3 hari lagi sebelum benar-benar mengambil keputusan, namun Sandra tetap menolak. Tegas sekali keputusannya dan tidak ada lagi langkah kompromi buatku.

Rasanya seluruh dunia berputar saat itu, masa sich orang lain yang nyeleweng berkali-kali masih dapat tempat maaf, sementara aku baru sekali saja sudah tidak ada lagi tempat maaf. Sebenarnya aku masih berharap bahwa aku masih dapat menjumpainya 2 atau 3 hari setelah pertemuan sore itu, namun itu semua tinggal harapan karena besoknya Sandra sudah pergi ke pedalaman Sulawesi menemani junior kami yang akan melakukan kerja lapangan selama 3 minggu di sana, dan aku tahu pasti di sana sudah ada Andre.

Andre adalah orang yang dulu sempat digosipkan pernah jalan sama Sandra, tapi disangkal oleh Sandra. Yang kutahu sich memang Andre naksir berat ke Sandra, tapi waktu itu Sandra yang menolak. Tapi sekarang sejarah sudah berubah, aku sudah mengecewakan Sandra, dan bukan salahnya kalau dia sekarang beralih ke Andre yang senantiasa setia menanti dan tidak ada lagi tempat buatku di hati Sandra.

Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak berguna. Hidupku sudah hancur rasanya, namun roda kehidupan harus tetap berjalan. Dan semuanya harus kujalani. Aku harus tegar, dapat menegakkan kepala, aku lelaki bung. Demikian semangat yang selalu kubangkitkan dari dalam.

Rasa sesal di dalam hati
Diam.. tak mau pergi
Haruskah aku lari dari,
kenyataan ini..
Lelah kumencoba,
‘tuk sembunyi..
Namun senyummu.. terus mengikuti
Lagu itu sayup-sayup terus bergayut dalam kalbu setiap malam menjelang tidur. Ach..



Share:
Lokasi: Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar



BANDAR TOGEL ONLINE TERAMAN & TERPERCAYA


NAMA BO PASARAN TUTUP RESULT MINIMAL DP&WD TEMPAT DAFTAR
WINE4D Singapore
Hongkong
Sydney
+7Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
BIRTOTO Singapore
Hongkong
Sydney
+7Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
BIRTOTO2 Singapore
Hongkong
Sydney
+7Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
KAFETOTO Singapore
Hongkong
Sydney
+5Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
ANDROID4D Singapore
Hongkong
Sydney
+7Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
RAJAJP Singapore
Hongkong
Sydney
+5Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
DIVA4D Singapore
Hongkong
Sydney
+4Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini
FLAMINGO4D Singapore
Hongkong
Sydney
+1Pasaran
17:15
22:00
12:45
WIB
17:45
23:00
14:00
WIB
DP:50rb
WD:50rb
Klik Disini

Copyright © Film Panas, Cerita Panas, Berita Viral, Artis Seksi, Cewek Montok, Video Bokep, | Blogger Design by Rio Ferdinand |