Cerita Sex Terbaru Di Kentot Tukang Bengkel Yang Bejad – Bunyi bel pulang sekolah itu menyadarkanku dari lamunanku. Aku menoleh ke arah Jenny yang ternyata masih sedang memandangiku.
“Jen? Kamu kenapa?”, tanyaku heran.
Jenny tersenyum dan menjawab dengan berbisik, “Kamu cantik Eliza… memangnya nggak boleh kalau aku liatin kamu?”
“Jen, kamu ini nggak ada kerjaan ya? Aku mau pulang cepat, ada les”, aku tersenyum geli sambil meleletkan lidahku pada Jenny.
Kami saling berpamitan ketika aku sudah ada di depan mobilku. Aku duduk sebentar di dalam mobil untuk sekedar melepas lelah, apalagi liang vaginaku masih terasa ngilu sekali, seolah olah ada penis yang masih tertinggal di dalam situ.
Setelah aku merasa agak enakan, aku mulai menjalankan mobilku. Kebetulan malah, lalu lintas di jalan depan sekolahku sudah sepi, jadi aku bisa melajukan mobilku dengan bebas. Aku harus cepat sampai ke rumah untuk membersihkan liang vaginaku yang masih belepotan sperma ini. Terasa begitu lembab dan becek sekali.
“Aduh… kenapa nih”, aku mengeluh ketika di sebuah jalan yang cukup sepi, setir mobilku terasa berat sekali, dan sesaat kemudian aku segera meminggirkan mobilku.
Ketika aku turun, tentu saja setelah mengamankan dompetku di dalam laci mobil yang sudah aku kunci, aku melihat ban mobilku yang kanan depan sudah kempis sama sekali.
Ya ampun, mana aku masih lelah setelah harus melayani nafsu bejat pak Edy, Pandu dan Dedi waktu di sekolah tadi.
Dengan sedikit jengkel, aku bermaksud membuka bagasi mobilku untuk mengambil ban cadangan di dalam situ.
Tapi aku melihat sekitar 100 meter di belakang mobilku, ada sebuah gubuk yang ternyata merupakan kios tambal ban, oh untung juga. Aku segera memundurkan mobilku ke sana.
Setelah menemukan penjaganya, aku membuka bagasi mobilku dan meminta tolong pada bapak itu untuk mengganti ban mobilku.
Selagi menunggu bapak itu mengganti ban mobilku, aku teringat kalau sebentar lagi aku harusnya les bahasa Inggris di rumah pada Cie Stefanny. Maka aku masuk sebentar ke dalam mobil dan mengambil handphoneku yang ada di laci mobil untuk menelepon Cie Stefanny.
“Halo cie, ini aku, Eliza. Cie, aku bakal telat nih cie, ban mobilku bocor, dan ini lagi mengganti ban”, aku mengabarkan keadaanku sekarang.
Cie Stefanny menjawab, “Iya nggak apa apa Eliza, Cie Cie tunggu di rumahmu ya”.
“Iya Cie Cie langsung masuk ke kamar Eliza saja Cie, nyalakan saja AC di kamar Eliza”, kataku lagi
“Iya deh, ya udah sampai ketemu ya Eliza”, kata Cie Stefanny.
“Sampai ketemu Cie”, aku menutup pembicaraan ini dan memasukkan handphoneku ke dalam tasku di laci mobil.
Aku mengambil dompetku dari tas, dan setelah laci mobil itu kukunci, aku duduk di kursi kayu panjang yang ada di gubuk ini. Rasanya tak sopan kalau aku duduk di dalam mobil sambil menunggu ban mobilku selesai diganti.
Selama aku menunggu, ada beberapa pengendara becak maupun sepeda yang mampir ke tempat tukang tambal ban ini.
Aku melihat mereka meminjam pompa sepeda di sini dan memompa ban mereka sendiri, lalu mengembalikan pompa sepeda ke tempatnya dan memberikan beberapa keping uang logam, entah berapa nilainya, kepada bapak itu.
Beberapa dari mereka sempat melihat ke arahku, dan lagi lagi demi kesopanan, aku mencoba tersenyum pada mereka, walaupun risih rasanya dipandangi oleh mereka seperti itu, seakan akan mereka ingin melihat isi bajuku saja. Kadang mereka menanyakan hal hal tak penting, dan aku berusaha menjawab seperlunya saja.
Beberapa menit kemudian, tukang tambal ban itu sudah selesai mengganti ban mobilku, bahkan sudah memasukkan ban mobilku yang tadinya kempis itu ke dalam bagasi mobilku. Maka dengan senang aku berdiri, hendak membayar ongkos penggantian ban ini.
Tapi tiba tiba aku tercekat ketika melihat kedatangan seseorang yang menuntun sepeda motornya.
“Wah wah Eliza, rupanya tadi siang di sekolah itu kamu sampai segitu keenakannya ya sampai sampai menunggu aku di sini?”, tanya Dedi dengan nada yang sangat melecehkanku.
Aku makin tak mampu berkata apa apa mendengar perkataan Dedi yang begitu vulgar di depan orang orang ini.
Gawatnya kini beberapa orang tukang becak yang sedang antri untuk meminjam pompa ban itu, semuanya melihatku! Mereka melihatku dengan pandangan liar seolah pandangan dari para predator terhadap calon mangsa mereka.
Aku menguatkan diriku, lalu membentak Dedi, “Kurang ajar! Kamu mimpi ya? Memangnya siapa yang menunggu bajingan seperti kamu? Aku di sini sedang…”.
Belum selesai aku berkata, Dedi langsung memotong, “Bapak bapak, amoy ini tadi siang sempat main main dengan saya di sekolah. Kalau bapak bapak ingin tahu sampai dimana enaknya amoy ini, bapak bapak bisa mencobanya di dalam gubuk pak Jamil ini! Dan enaknya, kita tak perlu ribut pakai kondom! Memeknya amoy ini pasti bersih dan jaminan mutu. Dia ini sudah tidak perawan lagi. Pula perduli amat kalau amoy ini sampai hamil… hahaha…”
Aku tercekat sesaat mendengar kata kata Dedi, yang sekarang menunjukkan jari telunjuknya ke gubuk di belakangku. Bukan karena masalah hamil, karena aku tahu aku sudah aman setelah rutin mengkonsumsi pil anti hamil.
Aku juga aku tak perduli tentang perkataan Dedi tentang aku yang sudah tidak perawan lagi, karena selain memang kenyataannya begitu, bagiku meskipun mereka semua ini tahu aku sudah tidak perawan lagi, tak ada yang perlu kuperdulikan.
Tapi yang membuatku tegang adalah aku tahu kalau sebentar lagi aku pasti akan diperkosa ramai ramai.
Masih belum hilang rasa ngilu di liang vaginaku akibat digilir pak Edy, Dedi dan Pandu. Apakah aku harus bernasib seburuk ini, diperkosa berkali kali dalam satu hari?
Sesaat kemudian, di depanku sudah menghadang tiga orang tukang becak. Walaupun mereka bertiga tak terlalu besar, tapi apa dayaku menghadapi tiga orang laki laki? Sedangkan ketika aku melihat ke belakangku, juga sudah ada dua orang tukang becak dan… tukang tambal ban itu, pak Jamil!
Mereka berenam sudah menutup semua jalan keluar bagiku. Aku sudah terkepung, dan ketika aku melihat sekeliling berharap pertolongan dari orang lain yang melihat keadaanku ini, ternyata sekarang ini jalanan sedang sepi sekali.
“Tolong, jangan sakiti saya…”, aku masih mencoba untuk lepas dari keadaan ini, maka aku mencoba memohon dengan suara pelan, mungkin memelas.
Mereka semua tertawa tawa, dan aku tahu kalau itu adalah jawaban dari permohonanku tadi, dan aku hanya bisa pasrah ketka mereka terus menggiringku masuk ke dalam gubuk itu.
Kini setelah kami semua ada di dalam gubuk, di sela senyumnya yang bagiku senyuman yang mengerikan, pak Jamil berkata dengan nada yang tentu saja sangat melecehkanku, “Tenanglah non amoy yang cantik, pak Jamil dan teman teman ini bukan mau menyakiti non kok, asal non nurut sama kita kita. Malah nanti non yang minta minta tambah lho. Oh iya, ongkos ganti ban tadi gratis kok non, hahaha…”.
“Ded… tolonglah… aku masih ada les di rumah… nanti aku terlambat…”, aku mencoba memohon pada Dedi, selagi yang lain tertawa mendengar kata kata pak Jamil.
Tapi Dedi menjawab permohonanku dengan sinis, “Dasar anak orang kaya. Eliza! Tahu tidak kamu kalau di luar sana itu banyak orang yang mau sekolah saja tidak bisa karena tak punya uang. Tapi kamu? Sudah sekolah di sekolahan elit, masih les ini itu. Sudah kebanyakan uang ya?”
Aku tertegun mendengar ucapan Dedi yang bagiku terdengar sangat melantur ini.
“Sekarang saja, bapak bapak ini harus memuaskan kamu, tapi akibatnya mereka tidak bisa bekerja mencari nafkah. Pak Jamil saja sampai menggratiskan ongkos… apa tadi? Ganti ban? Kasihan kan? Begini saja Eliza. Kamu kan kebanyakan uang. Kamu bayar saja bapak bapak ini semua… yaa… lima puluh ribu per orang cukup lah, untuk memuaskan kamu siang ini”, sambung Dedi yang tersenyum menjijikan.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Aku amat marah mendengar ucapan Dedi yang ngawur sekali ini, dan dengan nada yang kesal sekali, aku membentaknya, “Ded, kamu gila ya? Memangnya aku apa yang minta semua ini? Mengapa kok aku yang malah harus mengeluarkan uang? Enak saja, lepaskan aku! Atau…”
Belum selesai aku berkata kata, Dedi sudah memotong ucapanku. “Eliza… mulai hari ini, kamu itu sudah jadi budakku. Jadi sebaiknya kamu menuruti semua kata kataku, mengerti?”
Aku masih akan membantah, tapi Dedi mengancamku dengan dingin, “Kalau kamu masih keras kepala, aku akan panggil semua teman temanku untuk ikut bermain dengan kamu sekarang ini”.
Aku langsung terdiam, lemas. Dan pernyataan Dedi tadi, bahwa mulai hari ini aku sudah jadi budaknya itu benar benar membuatku bergidik, karena itu berarti di hari hari berikutnya kelak, aku akan terus berurusan dengan bajingan ini.
“Bagaimana, Eliza?”, tantang Dedi.
Ini sudah keterlaluan. Aku yang akan diperkosa, tapi malah aku yang harus membayar para pemerkosaku seolah olah aku ini amoy yang sudah segitu ketagihannya untuk diperkosa ramai ramai. Tapi jika aku bersikeras membantah, aku tahu nasibku bisa lebih buruk lagi, diperkosa oleh semua orang yang mampir atau melewati jalan di depan gubuk ini sesuai dengan ancaman Dedi tadi.
“Tenang saja, aku tidak minta bayaran kok. Jadi semuanya cuma tiga ratus ribu rupiah. Uang kecil kan bagi anak orang kaya seperti kamu?”, kata Dedi lagi dengan sinisnya.
Aku rasa aku punya uang yang cukup di dalam dompetku untuk memenuhi permintaan Dedi sialan ini.
Maka demi keselamatanku, juga supaya aku bisa cepat pulang, aku mengalah.
“Iya Ded, aku bayar”, kataku dengan lemas.
Pak Jamil dan para tukang becak yang lain bersorak senang dan beberapa kali mereka semua berterima kasih pada Dedi.
“Terima kasih banyak mas Dedi… wah kalau begitu mau seharian bermain dengan non amoy ini juga tidak apa apa”, kata pak Jamil yang memandangku dengan pandangan matanya yang terasa menelanjangiku.
“Kalau dibayar gini, tak usah narik becak sehari juga tidak ada masalah. Non amoy, non pasti puas kok bermain dengan kita kita hahaha…”, kata salah seorang tukang becak itu dengan gembira sekali.
“Eh bapak bapak, jangan sampai seharian, nih amoy juga harus kembali ke rumahnya. Lagipula, kita main satu dua ronde saja, pasti sudah cukup untuk membuat amoy ini puas sekali”, kata Dedi sambil tertawa senang.
Entah aku harus lega atau bagaimana mendengar kata kata Dedi ini. Tapi paling tidak aku tahu ini bukan penculikan, karena nanti aku akan dilepaskan, walaupun aku tahu nanti itu keadaanku mungkin sudah hancur hancuran.
Dan Dedi menambahkan, “Kalian harus dengar lenguhannya, juga merasakan jepitan memeknya. Jangan jangan malah kalian yang minta tambah nanti hahaha…”
Menyadari situasi yang menimpaku sekarang ini, aku merasa ngeri. Enam orang laki laki dewasa, ditambah Dedi, semuanya tujuh orang. Aku harus melayani tujuh orang ini, setelah tadi di sekolah aku sudah cukup kelelahan setelah melayani nafsu bejat dari pak Edy, Dedi dan Pandu.
Entah bagaimana keadaanku nanti setelah mereka semua puas menikmati diriku?
“Eliza, kamu boleh pilih. Kamu buka bajumu sendiri, atau kami yang membukakan bajumu?”, tanya Dedi dengan suara yang bagiku terdengar mengerikan.
“A… aku… aku buka sendiri saja Ded”, kataku lemah.
Aku memilih melakukan ini daripada mereka merenggut baju seragamku ataupun bra dan celana dalamku hingga rusak, walaupun sebenarnya aku malu sekali. Aku menaruh dompetku di atas meja kayu di dekatku, lalu aku mulai dengan membuka tali sepatuku, dan setelah aku melepas sepatu dan kaus kakiku, aku mulai membuka sabuk yang melingkar di pinggang rok seragam sekolahku.
Tentu saja semua itu aku lakukan diiringi sorakan dari mereka yang terlihat jelas begitu menginginkan tubuhku.
Diam diam aku bergidik, selama ini aku belum pernah ‘bermain’ seks dengan tukang becak, dan sebentar lagi aku harus merasakan hal itu. Entah seperti apa gaya permainan seks mereka, apakah mereka mau bersikap lembut atau mereka akan seenaknya memperkosaku dengan kasar?
Setelah aku meletakkan sabukku di meja kayu itu, aku mulai membuka rok seragam sekolahku yang juga kutaruh di meja itu. Dan mereka makin ribut bersorak dan berkomentar setelah melihat pahaku yang putih mulus.
“Wow paha non amoy ini, putih dan mulus sekali, mimpi apa kita semalam ya? hahaha…”, kata salah seorang dari mereka.
Aku hanya diam dan meneruskan proses penelanjangan pada diriku sendiri ini. Dengan sedikit gemetar aku mulai membuka kancing baju seragamku satu per satu dan menaruh baju seragamku di atas meja kayu itu. Kini di tubuhku tinggal melekat bra dan celana dalamku yang dua duanya berwarna putih. Lagi lagi kudengar sorakan dan siulan yang amat melecehkanku.
Tiba tiba Dedi maju mendekatiku, dan sesaat kemudian… ‘breet…!! breet…!!’, bra dan celana dalamku direnggut oleh Dedi dengan kasar hingga robek dan tak akan bisa kupakai lagi.
“Aduh…”, keluhku pelan.
Rasanya sedikit sakit ketika kulit tubuhku tertekan dan tergesek tali bra dan bagian samping celana dalamku yang direnggut paksa tadi. Dan Dedi yang kurang ajar itu dengan seenaknya membuang bra dan celana dalamku yang mahal itu ke pojok ruangan.
“Sialan kamu Ded! Pakaian dalamku ini mahal tau!”, aku membentak Dedi dengan sangat marah, ingin rasanya aku berteriak kesal, atau menamparnya sekuat tenagaku.
“Tadi kan aku sudah berkata kalau aku akan membuka semua pakaianku sendiri? Mengapa kamu masih saja merobek bra dan celana dalamku?”, aku mengomel dengan kesal sekali, karena aku tidak merasa tadi itu aku berlama lama membuka baju seragamku, semua kulakukan dengan wajar saja.
Tapi aku agak takut juga ketika melihat Dedi mendekatiku.
Berikutnya, Dedi memelukku dan berbisik, “Eliza, Sabtu ini, sejak pagi di sekolah sampai malamnya waktu di UKS nanti, kamu tak usah memakai bra dan celana dalam ya…”.
“Oh…”, aku mengeluh panik.
Aku memang sebenarnya sudah tahu kalau jatuhnya diriku ke tangan Dedi dan Pandu tadi siang di ruang wali kelasku yang bejat itu adalah awal dari rangkaian malapetaka yang kelak akan menimpa diriku di sekolah.
Sejak siang tadi, aku ini seolah sudah menandatangani ‘kontrak’ nasibku secara tak tertulis, bahwa aku ini sudah menjadi budak Dedi dan Pandu, yang harus siap untuk melayani mereka apapun permintaan mereka. Aku kembali mengutuki nasibku yang begitu buruk ini.
Dengan menyeringai menyeramkan, Dedi meneruskan bisikannya, “Sabtu pagi nanti, aku ingin melihat puting susu kamu tampak samar samar dari balik baju seragam sekolah kamu. Pasti kamu sexy sekali, Eliza. Malamnya terserah kamu mau pakai baju seperti apa, pokoknya bajumu harus sexy dan ketat”.
Aku benar benar terkejut dan menatap Dedi dengan panik.
Seolah terror itu belum cukup, Dedi menambahkan, “Dan juga siapa itu… Jenny? Kalau Sabtu malam nanti dia ikut, katakan padanya kalau dia juga tak usah memakai bra dan celana dalam, karena kalau aku melihat kalian memakai semua itu, akan aku robek semuanya seperti sekarang, dan kalian berdua akan mendapat hukuman berat! Mengerti?”
Diingatkan masalah ini, aku hanya bisa memalingkan kepalaku membelakangi Dedi dengan lemas. Perlahan aku mengangguk pasrah, dan kemudian kudengar Dedi tertawa senang penuh kemenangan, melihat diriku sudah takluk tanpa daya di hadapannya.
“Ada apa mas Dedi?”, tanya pak Jamil yang kelihatannya penasaran dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Dedi padaku, hingga mampu membuatku yang tadinya sempat marah, kini hanya pasrah dan menurut pada Dedi.
Aku tercekat dan menahan nafas, berharap semoga Dedi tidak sengawur itu untuk memberitahu mereka tentang rencana perkosaan terhadap diriku di UKS pada hari Sabtu nanti.
“Oh, bukan apa apa pak Jamil. Saya bilang kalau Eliza bisa memuaskan kita semua, saya akan belikan pakaian dalam baru yang lebih mahal dari pakaian dalamnya yang tadi saya robek”, kata Dedi.
Mereka semua tertawa. Diam diam aku merasa sedikit lega. Paling tidak, calon pemerkosaku di hari Sabtu nanti tak bertambah banyak.
“Hahaha, baik… kalau begitu, lanjut!” kata Dedi sambil meremas payudaraku satu kali.
Remasan pada payudaraku ini seolah merupakan tanda bagi mereka untuk memulai gangbang ini. Mereka bertujuh melucuti pakaian mereka sendiri, lalu mulai mengerumuniku.
Kini aku yang sudah telanjang bulat ini, digiring ke pembaringan yang beralas tikar itu.
Kulihat Dedi, dengan santai tiduran di pojok pembaringan, punggungnya diganjal bantal, dan kepalanya bersandar pada dinding gubuk ini. Kedua kakinya membuka lebar membentuk huruf V. Aku cukup ngeri melihat penis Dedi yang perlahan mulai berdiri, mengingat penis itu tadi siang cukup mampu untuk membuatku menderita dihantam badai orgasme.
Lalu dengan gaya seperti memerintahkan seorang budak, ia mengarahkan jari telunjuknya padaku, dan dua kali dia menunjukkan jari itu ke arah perutnya.
Aku terpaksa naik ke atas pembaringan itu dan mendekati Dedi dengan sedikit bingung, apa yang kira kira diinginkan teman sekolahku yang kurang ajar ini. Ketika aku sudah berada dalam jangkauannya, Dedi memegang kedua lenganku dan membalikkan tubuhku hingga aku membelakanginya, lalu ia membaringkan tubuhku, hingga kepalaku tersandar di atas perutnya.
Kurasakan penis Dedi yang hangat itu menempel di punggungku, dan penis itu terus berdenyut. Lalu kedua tanganku ditaruh Dedi di samping kakinya. Kedua pahaku sendiri kurapatkan, karena aku sudah malas mendengar sorakan ataupun siulan mereka yang bernada kurang ajar dan sangat melecehkanku.
Aku berpikir, dengan posisi ini, berarti bukan Dedi yang mendapat giliran pertama untuk memperkosaku. Aku malas atau lebih tepatnya tak berani menebak siapa yang ‘beruntung’ mendapat giliran pertama kali ini, karena bagiku keenam orang yang lain termasuk pak Jamil, mereka semua begitu mengerikan.Dan toh nantinya aku harus merasakan penis mereka semua satu per satu menembusi liang vaginaku.
Tapi tiba tiba kedua pahaku dibuka dengan kasar oleh pak Jamil yang menggerutu, “Dasar amoy munafik! Sudah nggak pakai baju saja kok pakai aksi malu malu segala! Lagipula tadi di sekolah non kan sudah sempat melayani mas Dedi! Sekarang ini waktunya non melayani kami semua tahu!”.
Pak Jamil mengangkat kaki kananku dengan kasar. Dengan posisi lutut yang tertekuk, pergelangan kaki kananku diikat olehnya dengan tali rafia pada sebuah kaitan di jendela gubuk ini.
“Pak, jangan…”, desisku ketakutan.
Tapi pak Jamil tak perduli, malah berikutnya kaki kiriku ditekuk oleh pak Jamil, lalu dilebarkannya ke samping kiriku dengan kasar, hingga vaginaku sudah tersaji menunggu hunjaman dari penis penis para calon pemerkosaku ini.
Lagi lagi terdengar tawa dan sorakan mereka yang penuh ejekan itu, sedangkan aku sendiri semakin panik menyadari keadaanku yang sudah tak mungkin bisa mengelak dari nafsu binatang mereka.
Kini setelah tubuhku sudah berada dalam posisi ‘siap saji’ seperti ini, pak Jamil menyiapkan penisnya yang sudah berdiri tegak itu untuk mengaduk liang vaginaku.
Rupanya pak Jamil akan mengambil giliran pertama, dan yang lain setuju setuju saja.
Mungkin mereka memberikan giliran pertama pada pak Jamil sebagai tanda terima kasih dari mereka, karena gubuk ini adalah milik pak Jamil, sedangkan mereka semua hanya ‘numpang’ di sini, dan kini mereka semua ‘beruntung’ mendapatkan kesempatan untuk menikmati tubuh amoy SMA seperti diriku.
“Wah wah, bener bener rejeki nomplok”, kudengar pak Jamil mengguman ketika memandangi tubuhku.
Aku bergidik ketika akhirnya pandangan mataku mengarah ke penis pak Jamil itu. Penis itu warnyanya gelap sekali, panjang, juga diameternya tebal sekali.
Selain itu penis itu sangat berurat, dan terlihat begitu kokoh. Entah bagaimana sakitnya nanti waktu liang vaginaku diaduk aduk oleh penis yang mengerikan itu.
Selagi aku dilanda kengerian dan pandangan mataku terus tertuju pada penis pak Jamil, pemiliknya berkata padaku, dengan nada yang sangat mengejek, “Kenapa non amoy, kok ngeliatin ini terus? Sudah tak sabar ya merasakan punya bapak ini? Tenang non amoy, ini memang buat non kok, pokoknya bapak tanggung non amoy bisa sampai mulet mulet lah nanti, hahaha…”
Tawa mereka meledak memenuhi ruangan ini, tawa yang mengerikan dan menjijikkan. Dan mereka semua berkomentar bersahut sahutan, komentar demi komentar yang memanaskan telinga dan membuat perasaanku bercampur aduk antara risih, malu dan jijik.
“Ayo cepat Mil, kami juga ingin ngerasain memek amoy SMA!”
“Cakep cakep, doyan seks juga ternyata loe, non amoy, hahaha”
“Liat susunya, amboi! Kapan lagi kita bisa ngeliatin dan ngeremas remas susu amoy SMA gini”
“Tapi belum bisa keluar susunya ya? Amoy ini kan masih belum pernah bunting dan ngelahirin anak”
“Iya, coba kalau sudah pernah, kita bisa minum susu amoy sekarang nih hahaha…”
“Memeknya oi… merah muda… seperti memek bintang film porno dari Jepang… hahaha…”
“Kalau bunting sama kita kita mau gak non amoy? Hahaha…”
“Kita kita sih bersedia menghamili non amoy kok, kalau non amoy memang ingin punya anak dari kami semua, hahaha…”
Aku benar benar merasa risih dan malu sekali mendengar ejekan demi ejekan itu, tapi tak ada yang bisa kuperbuat.
“Oooh… ssshh…”, aku merintih dan mendesis.
Kurasakan bibir vaginaku ditiup tiup dengan nakal oleh pak Jamil.
Kembali mereka bersorak mengejek, dan kudengar ada yang berkomentar, “Mil, sudah cepat genjot sana! Amoy ini sudah keliatan nggak tahan Mil! Hahaha…”
Separah apapun rasa malu yang melandaku saat ini, aku tahu kalau aku jangan sampai berbuat macam macam seperti menutupi payudara ataupun bibir vaginaku dengan kedua telapak tanganku. Seingin apapun aku melakukan itu, aku memilih untuk diam saja, karena kalau aku melakukan semua itu, aku tahu yang kudapat malahan tambahan sorakan dan ejekan saja.
Dan juga, aku tahu kalau aku hanya boleh pasrah, jika aku tak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi pada diriku, Maka aku berusaha untuk memejamkan mataku supaya aku tak melihat saat saat tubuh dari pak Jamil yang berbau tak sedap dan juga penuh dengan keringat itu menyatu dengan tubuhku.
Aku berharap semua ini cepat berakhir tanpa aku harus terlalu merasakan penderitaan.
“Sudah siap ya non? Sampai menutup mata membayangkan enaknya punya bapak ya? Hahaha…”, kudengar pak Jamil kembali melecehkanku, dan kurasakan paha kiriku sudah berada di pelukan pak Jamil, dan betisku sudah ada di pundak pak Jamil.
Oh, petaka akibat mengintip di sekolah tadi itu akan segera berlanjut…
“Ngghh…”, aku melenguh perlahan dan mau tak mau mataku terbuka, bahkan sampai terbeliak, seluruh tubuhku mengejang karena aku harus menahan sakit yang amat sangat.
Kurasakan sebuah penis yang aku memang sudah tahu kalau diameternya amat tebal, sedang membelah liang vaginaku dan terus melesak ke dalam memenuhi rongga liang vaginaku.
Penis itu terasa begitu keras.
Aku mulai menggeliat tak kuasa menahan sakit, walaupun seharusnya karena perkosaan di sekolah tadi, liang vaginaku ini masih becek sekali oleh cairan cintaku sendiri, juga sisa sperma dari pak Edy, Pandu, dan si kurang ajar Dedi yang sekarang sedang asyik meremasi kedua payudaraku sambil memangku kepalaku sekarang ini.
“Ngghh… angghkk…”, aku kembali harus melenguh.
Seluruh tubuhku mengejang hebat ketika aku harus berjuang menahan rasa sakit yang amat sangat ini, saat kurasakan penis itu makin dalam menghunjam liang vaginaku. Keringat pun mulai membasahi sekujur tubuhku.
“Aduuh… ampun… paaaak!!”, aku mengerang kesakitan dan mencoba memohon belas kasihan dari pak Jamil.
Kedua telapak tanganku kugenggamkan pada apapun yang bisa kugenggam untuk menahan rasa sakit ini, mungkin aku sedang meremasi tikar yang menjadi alas pembaringan tempat aku diperkosa sekarang ini.
Tubuhku sendiri tak bisa menggeliat dengan bebas, karena selain pergelangan kaki kananku yang terikat pada kaitan di jendela itu, juga paha kiriku yang berada dalam pelukan pak Jamil, kedua tangan Dedi yang sekarang memang sedang berhenti meremasi payudaraku, kini digunakan oleh pemiliknya itu untuk menekan pundakku ke arah pak Jamil.
Maka aku tak bisa ke mana mana, termasuk untuk menghindar ke belakang demi mengurangi rasa sakit yang kuterima saat hunjaman penis raksasa dari pak Jamil ini membelah liang vaginaku.
Dan selama proses penetrasi ini, aku terus mengerang kesakitan, kepalaku juga terus terlontar ke kanan dan ke kiri karena aku sudah tak kuat menahan rasa sakit yang amat sangat.
“Aduuh… sakit paak…”, aku mengerang kesakitan ketika akhirnya pak Jamil berhasil membenamkan penisnya sepenuhnya ke dalam liang vaginaku.
Kurasakan buah zakar dari tukang tambal ban ini sudah menempel pada selangkanganku. Nafasku tersengal sengal karena sejak tadi aku berjuang menahan sakit yang terus mendera liang vaginaku dan membuat sekujur tubuhku makin berkeringat.
Ketika kurasakan pak Jamil mulai menggerakkan penisnya hingga liang vaginaku serasa mulai dikorek korek oleh urat penis tukang tambal ban ini, aku kembali mencoba memohon belas kasihannya, “Pak, tolong pelan pelan pak, sakit…”
“Anngghkk…”, aku kembali harus melenguh ketika dengan kejam pak Jamil malah mulai memompa liang vaginaku dengan penuh semangat. Tukang tambal ban ini dengan tanpa rasa kasihan sama sekali padaku, terus menghentakkan tubuhnya seolah hendak melesakkan penisnya kuat kuat ke dalam liang vaginaku.
Sedangkan tubuhku yang berada di bawah pak Jamil ini harus terus mengejang kesakitan tanpa daya, aku terus mengerang saat tubuhku digagahi oleh tukang tambal ban ini.
“Tenang amoy cantik, sebentar lagi juga enak kok… uuuh… sempitnyaaa”, racau pak Jamil saat penisnya terus memompa dan mengaduk aduk liang vaginaku.
Dan memang, beberapa saat setelah terus menerus mengejang hebat karena didera rasa sakit yang amat sangat ini, perlahan penderitaanku mereda, bahkan pedih yang kurasakan itu juga hilang saat liang vaginaku mulai terasa licin.
Mungkin cairan cintaku sudah melumasi liang vaginaku, hingga yang kurasakan kini adalah rasa nikmat ketika penis itu memenuhi liang vaginaku, juga saat saat penis itu tertarik keluar hingga kurasakan urat urat penis pak Jamil serasa mengorek liang vaginaku, membuat tubuhku dengan jujur menggigil keenakan.
Apalagi kemudian Dedi kembali sibuk meremasi payudaraku dengan cukup lembut, sehingga rangsangan demi rangsangan yang kuterima ini serasa bertubi tubi, membuat rasa nikmat itu lagi lagi menjalari sekujur tubuhku.
Aku menggigit bibir, tak ingin melenguh di hadapan pemerkosaku ini, tapi makin lama rasa nikmat yang mendera liang vaginaku makin menghebat. Aku mulai menggeliat keenakan, sedangkan pak Jamil tertawa tawa sambil terus menggenjot tubuhku.
“Kenapa amoy cantik? Sudah enak kan… uhhh… memekmu sempit sekalii…”, kembali pak Jamil meracau.
“Nggghh… nggghhh…”, akhirnya aku melenguh sejadi jadinya, tak kuasa menerima siksaan kenikmatan yang amat sangat ini.
Tubuhku menggeliat keenakan, aku hanya pasrah diantar menuju orgasme lagi.
Tapi tiba tiba pak Jamil berhenti menggenjotku.
“Oohh…”, keluhku sambil memandang pak Jamil dengan penuh permohonan, permohonan agar ia mau melanjutkan memompa liang vaginaku.
Pak Jamil sambil berkacak pinggang memandangku dengan senyum mengejek.
“Kenapa amoy sayang? Mau lanjut?”, ejek pak Jamil padaku.
Ketika mendengar gelak tawa dari mereka, aku sangat terkejut. Aku menyadari kalau tadi itu aku baru saja mengangguk, bahkan sekarang ini aku sedang menggerak gerakkan pinggulku supaya liang vaginaku tetap teraduk oleh penis pak Jamil. Aku bahkan sedang sempat mencari kenikmatanku sendiri! Seperti ketika aku tak berdaya menahan nafsu dan gairahku sendiri saat dipermainkan habis habisan oleh penjaga vila keluargaku, pak Basyir…
Maka aku menggigit bibirku sendiri dan mati matian berusaha menghentikan gerakan pinggulku yang seakan ada di luar kendaliku.
Setelah aku berhasil mengendalikan diriku, aku membuang mukaku ke kanan, ke arah dinding gubuk ini. Kupejamkan mataku selagi mereka semua yang ada di dalam gubuk ini masiih terus menertawakanku.
Mukaku rasanya panas sekali, dan aku sangat kesal terhadap tubuhku sendiri. Baru kusadari, ternyata begitu mudahnya tubuhku ini ditaklukkan oleh para pemerkosaku dalam setiap perkosaan yang menimpa diriku.
“Hahaha… amoy kita ini masih malu malu oi…”
“Amoy SMA lah, biasa masih malu malu”
“Malu tapi mau, sampai mulet mulet… hahaha…”
Kembali aku harus menerima ejekan demi ejekan dari mereka.
“Ngghh…”, kembali mataku terbeliak, dan aku harus melenguh keenakan ketika kurasakan liang vaginaku perlahan kembali terbelah oleh penis pak Jamil.
Bertahap ia melesakkan penisnya, kalau yang tadi sebelumnya ia menghunjam hunjamkan penisnya begitu saja dengan kasar dan kejam, kini ia melakukan dengan cukup lembut dan perlahan.
Tapi tetap saja, aku merasa seakan ada paku dari kayu, yang kini sedang menghunjam pada liang vaginaku. Setiap penis itu melesak semakin dalam, aku merasa seolah paku itu dipukul dengan palu hingga menancap semakin dalam di liang vaginaku, memaku tubuhku. Aku terus menggeliat dan melenguh ketika penis itu, perlahan tapi pasti, terus mengisi dan memenuhi liang vaginaku.
“Enak ya non amoy?”, ledek pak Jamil ketika aku melenguh pelan dan tubuhku kembali menggeliat hebat di bawah tindihannya saat penisnya sudah terbenam seluruhnya di dalam liang vaginaku, memaku tubuhku hingga aku tak bisa ke mana mana lagi.
Rasanya liang vaginaku sekarang ini begitu penuh dan enak sekali walaupun tentu saja bercampur dengan sedikit rasa sakit dan ngilu. Aku menyadari sekarang ini keadaanku sudah kepalang basah, toh tadi aku sudah sempat mempermalukan diriku sendiri.
Maka aku menguatkan diriku dan menjawab, “Iya… pak Jamil… enak…”.
Kembali ruangan ini dipenuhi tawa mereka, tawa kemenangan mereka yang melihat seorang amoy sepertiku takluk sepenuhnya pada mereka. Sedangkan aku sendiri merasa mukaku amat panas.
Sementara itu, pak Jamil mendiamkan penisnya yang berada di dalam liang vaginaku, membuat aku merasa liang vaginaku seperti sedang menelan sebatang paku kayu bulat yang berdiameter besar sekali, dan aku kembali tak berani terlalu bergerak ataupun menggeliat.
Kini seorang dari mereka berlima, yang merupakan para calon pemerkosaku, naik ke pembaringan dan mengambil posisi di sebelah kananku. Pergelangan tangan kananku dipegang oleh tukang becak itu, dan ditarik ke belakang kepalaku untuk diberikan pada Dedi. Lalu ia sendiri meremasi payudaraku yang sebelah kanan, menggantikan Dedi yang kini mencengkeram pergelangan tangan kananku.
“Aduh… sakit pak…”, aku mengeluh lemah ketika kurasakan remasan dari tukang becak itu pada payudaraku yang kanan ini cukup menyakitkan.
Ketika tangan kiriku kugerakkan untuk menggapai dan menahan tangan yang sedang menyakiti payudaraku yang sebelah kanan ini, Dedi malah menangkap pergelangan tangan kiriku, dan dengan kasar ia menyentakkan tangan kiriku ke atas kepalaku.
“Oohh…”, lagi lagi aku mengeluh tanpa daya, ketika Dedi menarik tangan kananku, juga ke atas kepalaku, membuatku makin tak berdaya.
“Eliza, jangan banyak tingkah!”, bentak Dedi dengan kasar, yang lalu dengan tanpa belas kasihan ia menyatukan kedua pergelangan tanganku di atas kepalaku.
“Aduh… Ded… tolong lepaskan tanganku… sakit nih…”, aku memohon belas kasihan Dedi sambil kembali mencoba menarik tanganku.
Tapi entah cengkeraman Dedi yang terlalu kuat, atau aku yang sudah terlalu lemah, semua usaha yang kulakukan sia sia belaka. Aku kembali memandang Dedi dengan penuh permohonan belas kasihan dari dirinya.
“Jangan cerewet, Eliza! Aku ingatkan, mulai hari ini kamu itu sudah jadi budakku! Kalau sekarang ini kamu masih berani banyak ribut, aku akan panggil semua orang yang lewat di jalan depan sana untuk menikmati tubuh kamu! Apa kamu ingin aku sampai harus melakukan itu, Eliza?”, bentak Dedi dengan kejam.
Berkata begitu, kurasakan penis Dedi yang tertindih di bawah punggungku berdenyut denyut, rupanya ia terangsang juga melihat keadaan ini, keadaan dimana aku tak punya pilihan lain selain harus menuruti segala keinginannya.
Aku mulai mengutuki diriku sendiri dalam hatiku, mengapa di sekolah tadi aku harus mengintip persetubuhan Vera dengan Dedi ini dan temannya yang bernama Pandu itu?
Kini aku yakin kalau nasibku kelak akan semakin buruk saja. Dedi sudah dua kali berkata padaku bahwa mulai hari ini aku ini sudah jadi budaknya. Entah aku akan diapakan lagi oleh teman sekolahku yang bejat ini, yang pasti hari ini dan juga Sabtu nanti itu bukanlah hari terakhir dimana Dedi berkesempatan untuk memperkosaku.
Dan mendengar ancaman yang sangat mengerikan itu, aku tahu kalau sebaiknya aku pasrah menerima semua ini tanpa melakukan perlawanan.
Lalu Dedi memanggil salah satu tukang becak yang lain, “Parlan, pegang tangan amoy ini!”
“Siap bos!”, kata tukang becak yang dipanggil Parlan itu, lalu ia mendekati kami dan membantu Dedi memegangi kedua pergelangan tanganku.
Entah bagaimana Dedi bisa mengenal nama tukang becak itu.
“Tangan amoy ini ternyata harus diikat, supaya yang punya bisa diam!”, gerutu Dedi sambil mulai melingkarkan tali rafia ke kedua pergelangan tanganku yang sudah disatukan ini.
Ingin aku memohon supaya tanganku jangan diikat dalam posisi seperti ini, tapi aku takut Dedi makin marah dan malah menghukumku dengan hal hal ataupun perintah yang aneh aneh, atau yang lebih mengkhawatirkan lagi, Dedi malah akan makin menyakitiku.
Maka aku terpaksa pasrah saja, membiarkan kedua tanganku diposisikan sedemikian rupa untuk diikat oleh Dedi. Toh kalaupun aku meronta, aku tak mungkin bisa berbuat banyak. Apalah arti tenagaku dibanding Bang Parlan ini?
Dengan mudah Dedi mengikat kedua pergelangan tanganku menjadi satu dengan menggunakan tali rafia. Ikatan itu kencang sekali, dan cukup menyakiti kedua pergelangan tanganku, dan aku menggigit bibirku menahan sakit.
Tapi aku sudah tak berani memohon apapun pada Dedi, daripada nantinya hal itu membuat Dedi yang sekarang sudah sibuk memainkan rambutku ini malah mendapat ide yang aneh aneh dan membuatku lebih menderita lagi.
Kini dengan kedua tangan dan kakiku yang sudah tak bisa kugerakkan dengan bebas, aku semakin tak berdaya dan hanya bisa pasrah membiarkan tukang becak yang di sebelah kananku ini terus menyakiti payudaraku yang sebelah kanan.
Malahan kini penderitaanku makin bertambah, karena payudaraku yang sebelah kiri juga mendapatkan remasan yang amat kasar dari Parlan, si tukang becak yang tadi baru saja membantu Dedi mengikat kedua pergelangan tanganku.
Aku terus menggeliat menahan sakit, dan tiap aku menggeliat, aku merasakan seolah olah penis pak Jamil yang menancap begitu dalam bak paku itu mengait bagian bawah tubuhku, menahan dan memaku tubuhku dari bawah supaya aku tak bisa ke mana mana lagi, karena jika aku terlalu menggeliat, penis itu bergeser dari posisinya sekarang, dan urat urat penis itu serasa mengorek ngorek liang vaginaku.
“Oh… sempitnya memekmu… amoy yang cantik…”, racau pak Jamil.
Rupanya gerakanku ketika menggeliat tadi membuat otot liang vaginaku mungkin seperti meremas penisnya dan memberikan rangsangan pada penis pak Jamil yang sejak tadi terus berdenyut.
Tiba tiba pak Jamil mulai menggerakkan tubuhnya, membuatku takut ia akan menyakitiku.
Dengan sekali sentak, Pak Jamil menghunjamkan seluruh penisnya ke dalam liang vaginaku. Ia terlihat begitu bernafsu saat melakukan hal itu.
“Angghkk…”, aku merintih keenakan.
Berikutnya, gerakan maju mundur yang dilakukan pak Jamil kembali membuat liang vaginaku membasah, rasanya begitu nikmat.
Entah apakah karena nikmat yang diberikan oleh tukang tambal ban ini ketika memompa liang vaginaku ini jauh melebihi rasa sakit yang mendera kedua payudaraku sekarang ini, yang jelas kini yang paling kurasakan adalah rasa ngilu yang bercampur nikmat yang amat sangat ketika liang vaginaku dipenuhi penis pak Jamil.
Aku hampir tak tahan merasakan nikmatnya ketika penis itu ditarik keluar oleh pemiliknya sampai tinggal kepala penisnya di dalam liang vaginaku. Dan entah karena apa, tiba tiba rasa sakit pada kedua payudaraku ini malah membuatku terangsang hebat, apalagi kini aku merasakan sensasi yang amat menggariahkan menyadari diriku sudah dalam keadaan tak berdaya.
Aku merasa seolah olah menjadi tawanan mereka, tawanan yang boleh mereka perlakukan sesuka hati untuk memuaskan nafsu seks mereka. Dan gilanya, membayangkan hal ini diam diam malah membuatku makin bergairah.
“Ngghh… aduuuh…”, aku melenguh sejadi jadinya ketika pak Jamil makin mempercepat gerakannya, hingga liang vaginaku terasa begitu ngilu dan serasa akan meledak saja karena dipompa sejak tadi.
Aku tahu sebentar lagi aku pasti akan orgasme.
Ketika aku sekilas melihat keadaan pak Jamil, menurutku tukang tambal ban itu juga sudah tak karuan keadaannya. Ia menggenjot tubuhku sambil menggeram, kurasakan tubuhnya bergetar saat ia memandangiku dengan penuh nafsu, seakan ingin menelan diriku bulat bulat.
Tapi aku tak bisa berlama lama memperhatikannya, aku sendiri juga sedang dilanda kenikmatan yang amat sangat, dan tubuhku harus terus mengejang keenakan menerima semua ini.
“Ngghhh… ngghhh… aduuuuh…”, aku kembali melenguh sejadi jadinya saat orgasme yang hebat seakan meluluh lantakkan tubuhku.
Tubuhku menggeliat hebat dan kurasakan penis pak Jamil menancap sedalam dalamnya pada liang vaginaku sampai serasa menyodok dinding rahimku, saat tubuhku mengejang hebat hingga terlonjak lonjak dan pinggangku terangkat angkat.
Hal ini rupanya membuat pak Jamil sudah tak mampu bertahan lagi, ia menggeram, tubuhnya yang memeluk paha kiriku ini bergetar hebat. Kurasakan beberapa kali penis pak Jamil berkedut di dalam liang vaginaku, dan kemudian semburan cairan sperma dari penis pak Jamil membuat liang vaginaku yang sudah basah oleh cairan cintaku sendiri ini semakin basah, rasanya hangat sekali.
Pak Jamil beberapa kali menyodokkan penisnya sambil melolong dan menggeram, lalu ia ambruk di atas tubuhku dengan masih memeluk pahaku.
Akibatnya pahaku tertekuk ke arah pembaringan dimana aku sedang terbaring pasrah untuk diperkosa ini.
Hangatnya cairan sperma itu benar benar menambah kenikmatan yang melanda liang vaginaku, dan orgasmeku yang belum juga mereda membuat sekujur tubuhku mengejang ngejang keenakan, beberapa kali tubuhku tersentak sentak, tapi gerakan tubuhku teredam karena kini pak Jamil sedang menindihku.
Juga seandainya kedua betisku bisa bergerak bebas, pasti kini keduanya sedang melejang lejang tak karuan, tapi saat ini kaki kananku tak bisa terlalu bergerak bebas karena pergelangan kaki kananku yang terikat pada kaitan di jendela gubuk ini. Sedangkan dengan keadaan dimana paha kiriku tertekuk ke atas hingga hampir sejajar dengan tubuhku, otomatis betisku tak bisa terlalu banyak bergerak juga.
Gerakan tubuhku yang tertahan dengan cara seperti ini, bukannya membuat orgasmeku mereda. Orgasme ini malah semakin menjadi jadi, dan liang vaginaku semakin ngilu saja dan juga otot perut bawahku sampai kram ketika tubuhku terus mengejang.
“Ngghhh… aaanggghkk”, aku melenguh panjang di sela mengejangnya tubuhku.
Aku benar benar menikmati orgasmeku yang seakan tak ada habisnya ini.
Tapi lenguhanku tiba tiba tersumbat ketika pak Jamil dengan kasar memegangi kepalaku dengan kedua tangannya, lalu dengan buas ia menyergap dan melumat bibirku.
“Mmpphhh… mmmhhh….”, aku hendak protes, tapi aku hanya bisa merintih tak jelas seperti ini.
Bau mulut pak Jamil benar benar membuatku mual, dan hal ini sedikit menyiksaku. Untungnya tak lama kemudian aku mulai bisa beradaptasi menerima semua ini.
Setelah kira kira hampir setengah menit, akhirnya orgasme yang melandaku itu reda juga. Kurasakan penis pak Jamil masih berdenyut denyut di dalam liang vaginaku. Tulang tulang di tubuhku serasa dilolosi dari semua persendiannya, membuatku hanya bisa terbaring pasrah dan lemas.
Setelah pak Jamil puas melumat bibirku dan melepaskan pagutannya, aku segera mengambil nafas sebisaku. Kini nafasku tersengal sengal dan dadaku rasanya sedikit sesak karena tubuhku masih ditindih oleh tukang tambal ban ini.
Denyutan penis pak Jamil makin lama makin lemah, lalu pemiliknya menarik penisnya keluar dari jepitan liang vaginaku. Ia melangkah mundur dengan gontai, dan terduduk lemas di pojok ruangan gubuk ini, sambil menyalakan sebatang rokok.
Nafasnya masih memburu ketika pak Jamil berkata, “Memek amoy ini benar benar sempit. Rasanya ****** ini seperti dipijat pijat di dalam memeknya. Nggak kalah sama perawan lah! Kalian semua pasti puas bermain dengan amoy SMA yang cantik ini!”
Entah aku harus orgasme berapa kali lagi nanti, tapi sekarang ini aku berusaha mengistirahatkan tubuhku yang masih gemetar karena orgasme. Percuma kan memikirkan penderitaan yang pasti harus kujalani ini?
Tentu saja aku tak merasa tersanjung sama sekali dengan segala pujian cabul yang baru saja dilontarkan oleh tukang tambal ban yang baru saja selesai menikmati tubuhku ini. Aku sudah jadi tawanan mereka saat ini, tak usah dipromosikan segala, toh mereka semua juga akan menggilirku.
Tukang becak yang tadi meremasi payudaraku yang sebelah kanan, kini mengambil gilirannya untuk menikmati liang vaginaku.
Dengan santai ia melepas ikatan pergelangan kaki kananku pada kaitan di jendela tadi, lalu ia mendudukkan tubuhku, dan mendorongku ke pelukan Dedi yang langsung meremasi kedua payudaraku dari belakang.
“Oooh…”, aku merintih antara kesakitan dan keenakan.
Sempat kupejamkan mataku sesaat, dan ketika aku kembali membuka mataku, kulihat tukang becak itu sudah berbaring di hadapanku, dengan penisnya yang berdiri tegak.
Aku sempat memperhatikan, penis itu cukup besar dan panjang, mungkin berukuran sekitar 15 cm. diameternya tak terlalu tebal seperti punya pak Jamil ataupun satpam sekolahku, mungkin sekitar 3,5 cm sampai 4 cm.
Ukuran penis seperti itu adalah ukuran penis favoritku, karena rasa sakit kuterima nanti tak akan begitu menyiksaku saat liang vaginaku harus menelan penis itu.
Kedua lututnya sedikit ditekuk ke atas, dan aku sudah tahu apa keinginan dari tukang becak ini.
“Duduk di sini, amoy sayang”, kata tukang becak itu dengan lagak yang menjemukan.
Aku menurut saja, dan melepaskan diriku dari pelukan Dedi yang memang sudah melepaskan pelukannya. Lalu aku berjongkok dan menurunkan tubuhku hingga kurasakan kepala penis tukang becak itu bersentuhan dengan bibir liang vaginaku.
Kedua tanganku yang terikat menjadi satu di bagian pergelangan tangan ini diangkat ke atas oleh Dedi. Ketika aku melihat ke atas, aku mendapati Dedi sedang menyambungkan seutas tali rafia pada ikatan yang mengikat kedua pergelangan tanganku ini, lalu melewatkan tali itu ke atas kuda kuda kuda kuda gubuk ini yang memang tak terlalu tinggi.
Kemudian Dedi menarik tali itu ke bawah hingga kedua tanganku kini tergantung ke atas dan agak ke belakang. Ia mengikat tali itu pada kaitan di dinding gubuk ini, hingga aku tak bisa menurunkan kedua tanganku.
Aku sama sekali tak protes, malahan aku merasa saat ini aku pasti terlihat begitu sexy.
Aku membayangkan keadaan diriku, seorang amoy yang menjadi tawanan beberapa orang kasar yang beruntung ini, sedang terikat pasrah tak berdaya dengan pose yang amat sexy, tersaji polos siap untuk dinikmati sepuas puasnya oleh mereka.
Membayangkan keadaanku yang seperti ini, gairahku malah makin menjadi jadi, aku benar benar sedang dalam keadaan terangsang hebat saat ini.
“Shhh… anggkkhh…”, aku mendesis dan melenguh panjang ketika tiba tiba tukang becak itu memegang kedua pinggulku, dan menarik tubuhku ke bawah.
Akibatnya, penis tukang becak itu langsung amblas sepenuhnya ke dalam liang vaginaku, hingga walaupun penis ini bukanlah penis yang berukuran raksasa, proses penetrasi yang begitu mendadak ini tetap saja menyakitiku.
Begitu sakitnya, punggungku sampai melengkung ke belakang dan menempel pada kedua paha tukang becak ini ketika aku menggeliat hebat akibat perbuatan pemerkosaku ini.
Tapi tubuhku juga dilanda sensasi kenikmatan yang luar biasa, aku merasa seolah olah tubuhku sedang jatuh ke bawah, dan liang vaginaku tertancap pada sebuah paku kayu yang panjang, yang menahan tubuhku, dan dengan kedua tanganku yang terikat dan tergantung di atas kepalaku, serta liang vaginaku yang seperti terpaku dari bawah seperti ini, aku sudah tak bisa ke mana mana lagi.
Untuk sesaat aku harus menggeliat antara kesakitan dan keenakan. Bahkan aku sampai kehilangan keseimbanganku, tapi untungnya aku tak sampai roboh karena kedua tanganku yang tergantung ke atas ini menahan tubuhku.
Kembali kudengar sorakan mereka, beberapa dari mereka bahkan menirukan lenguhanku. Aku sangat malu karena aku menyadari tadi itu aku terlihat begitu menikmati penetrasi penis dari tukang becak yang sedang tertawa puas di bawahku sekarang ini.
Tapi aku tak bisa menahan diri untuk tidak melenguh ataupun tidak menggeliat, tubuhku terlalu jujur mengekspresikan rasa nikmat yang amat sangat saat penis itu membelah dan menusuk memenuhi liang vaginaku.
Maka aku berusaha untuk tak memperdulikan sorakan dan ejekan mereka. Bagiku sudah tak ada yang perlu kupikirkan lagi kalau aku terlihat begitu menikmati perkosaan ini, toh sejak tadi aku sudah beberapa kali mempermalukan diriku sendiri, entah dengan melenguh dan menggeliat keenakan, bahkan sampai sampai aku tanpa sadar mencari kenikmatanku sendiri ketika tadi pak Jamil sempat mempermainkanku, persis seperti apa yang dilakukan oleh pak Basyir di vila keluargaku beberapa waktu yang lalu.
Lagipula menurutku hal ini lebih baik daripada aku harus terjebak dalam perasaan menderita karena aku bersikeras tak rela diperkosa.
Aku berpikir kalau hal itu tak ada gunanya sama sekali, malah hanya akan membuat hatiku sakit dan merasa terhina saja. Maka aku memutuskan untuk menikmati perkosaan ini sepuas puasnya.
Selain itu, adalah bukan kali pertama aku harus pasrah diperkosa ramai ramai seperti sekarang ini, dan hari Sabtu nanti bertambah lagi tuan yang menjadikan aku budak seks dari mereka. Entah apakah memang sudah takdirku, entah apakah aku harus membiasakan diri dengan semua ini.
“Non… ayo goyang, kok malah melamun?”, goda tukang becak yang sedang menikmati liang vaginaku ini.
Aku tersadar dari lamunanku. Tanpa protes sedikitpun, aku menuruti permintaannya, dan mulai meliuk liukkan tubuhku hingga pinggulku terangkat angkat, mungkin sekarang ini otot liang vaginaku seperti sedang mengurut penis dari tukang becak ini, membuatnya mulai menggeram dan melenguh keenakan menikmati jepitan otot liang vaginaku.
Dan aku sendiri merasa seolah olah penis tegak di bawahku ini memompa dan mengorek ngorek liang vaginaku. Kini kami berdua merintih dan melenguh pendek, bersahut sahutan.
Selagi aku mengendarai penis tukang becak ini, tiba tiba kurasakan kedua payudaraku diremas lembut dari belakang, yang aku tahu ini pasti perbuatan Dedi. Ia menyibakkan rambutku ke kiri, kemudian kurasakan nafasnya yang hangat itu menerpa kulit leherku bagian belakang.
Dengan bernafsu Dedi mencium dan mencumbui bagian belakang leherku, lalu cumbuan itu berpindah ke bagian kanan atas leherku yang sebagian tertutup lengan kananku yang tergantung ini. Dedi bahkan melanjutkan cumbuannya pada telinga kananku.
Aku menggelinjang dan mendesah nikmat. Otot leherku serasa mengejang karenanya.
Aku benar benar larut menikmati cumbuan Dedi.
Sambil mendesah aku terus menggoyangkan bagian bawah tubuhku untuk mengendarai penis tukang becak ini.
Sesekali kurasakan pemerkosaku ini menyambut liang vaginaku dengan menyentakkan pinggulnya ke atas tepat saat aku menurunkan tubuhku ke bawah, hingga penisnya itu terasa semakin dalam saja menancap pada liang vaginaku.
“Angghh…”, aku melenguh ketika kurasakan cumbuan Dedi pada leherku di bagian depan.
Aku sampai terdongak karena tak kuasa menahan nikmat, tapi kepalaku tertahan oleh kedua tanganku yang masih tergantung di atas kepalaku ini.
Akibatnya badanku sampai melengkung ke depan ketika aku menggeliat, dan aku semakin tenggelam dalam kenikmatan ketika kurasakan kedua payudaraku diremas remas oleh tukang becak yang masih asyik menyodok liang vaginaku dari bawah ini.
“Shhh… oooh…”, aku mendesis keenakan, dan tubuhku makin berkelojotan.
Apalagi kemudian kurasakan kedua paha dan betisku diraba raba. Di tengah rangsangan yang bertubi tubi pada sekujur tubuhku ini, aku mencoba melihat siapa kiranya yang meraba raba kedua paha dan betisku, dan ternyata entah sejak kapan, di samping kanan dan kiriku sudah ada dua orang tukang becak yang duduk bersila sambil terus asyik meraba raba kedua paha dan betisku.
Diperlakukan seperti ini, aku sudah tak tahan lagi. Tubuhku terus berkelojotan saat liang vaginaku terus dipompa dari bawah, cumbuan yang tak ada habisnya pada leherku serta remasan dan rabaan pada kedua payudaraku dan kedua paha dan betisku, aku benar benar terangsang hebat, dan aku tahu kalau aku sudah berada di ambang orgasmeku yang kali kedua saat ini.
“Ngghh… aangghkk…”, aku melenguh sejadi jadinya, orgasme yang amat hebat melandaku, membuat aku berada dalam keadaan setengah sadar setelah mataku sempat terbeliak sesaat.
Semua rangsangan itu masih kurasakan, tak sedikitpun mereda. Demikian juga orgasmeku, tubuhku terus mengejang dan tersentak sentak susul menyusul sejak tadi, mungkin sudah hampir satu menit aku tersiksa dalam kenikmatan ini.
“Oooh… Deed…”, aku merintih keenakan dan mengerang menyebut namanya ketika Dedi tiba tiba menjilat bagian depan leherku, sampai ke daguku.
Tubuhku sampai bergetar hebat karena perbuatan Dedi ini, dan seandainya kedua tanganku tidak sedang terikat ke atas seperti ini, aku pasti sudah roboh karena saat ini aku sudah sangat lemas, pasrah dan menyerahkan diriku sepenuhnya untuk diperlakukan sesuka hati oleh Dedi dan yang lain ini.
“Emmphh…”, tepat ketika aku akan merintih lagi, Dedi sudah memagut bibirku.
Kurasakan pagutan itu begitu mesra. Rintihanku tertahan, dan perasaanku yang sudah tersengat ini membuatku langsung menyerah tanpa perlawanan. Kubiarkan Dedi memagut dan mengulum bibirku, bahkan ketika lidah Dedi menjilat bibirku yang sedang berada dalam kulumannya, kubuka mulutku sedikit, dan kubiarkan lidah itu menerobos masuk ke dalam mulutku, mencari cari lidahku.
Ketika ujung lidah Dedi akhirnya mendapatkan lidahku, mendesak dan menjilati lidahku, aku semakin tak bisa berpikir lagi. Dengan penuh gairah aku langsung balas mendesak lidah Dedi hingga lidah kami saling beradu, saling menjilati dan saling mendesak, bahkan sesekali lidah kami berdua saling mengait dan bertautan.
Aku benar benar larut dalam ciuman yang sangat mesra ini, ciuman yang seharusnya hanya dilakukan oleh sepasang kekasih.
Kami saling bertukar air ludah. Saat Dedi dengan bernafsu melesakkan lidahnya ke dalam mulutku hingga kepalaku terdorong ke belakang dan sedikit terdongak, air ludah Dedi masuk membanjir ke dalam mulutku ini.
Aku menelan semuanya supaya aku tak sampai tersedak. Entah kenapa, hal ini malah makin menambah gairahku saja. Akku malah menjadi makin ingin digagahi habis habisan oleh Dedi, juga oleh yang lainnya.
Demikian juga kalau Dedi mengendurkan tekanannya pada kepalaku, otomatis lenganku mendorong kepalaku ke depan hingga aku agak tertunduk. Saat itu aku merasa air ludahku juga membanjir keluar, dan kudengar Dedi meneguk air ludahku, sambil ia menatapku dengan mesra sekali, membuatku makin larut dalam ciuman yang begitu menyengat perasaanku ini.
Aku sendiri harus terus merintih dan melenguh tak jelas, karena selagi aku berpagut mesra dengan Dedi, liang vaginaku yang masih sangat ngilu karena orgasmeku belum juga reda ini terus dipompa dari bawah dengan gencar.
Aku memejamkan mata menikmati semua siksaan kenikmatan birahi yang melandaku ini.
Dan seakan hendak menambah penderitaanku yang makin tenggelam dalam kenikmatan ini, kurasakan remasan pada kedua payudaraku ini berganti tangan, juga gaya.
Sekarang ini, walaupun kurasakan remasan ini dilakukan dengan lembut, tapi setiap puncak remasan yang kuterima pada kedua payudaraku ini cukup menyakiti kedua payudaraku, walaupun nikmat yang kudapat dari setiap remasan ini juga terus membuatku merintih keenakan.
Sementara itu kini kurasakan bukan hanya kedua paha dan betisku saja yang diraba raba oleh mereka. Kedua lenganku yang sedang tergantung pasrah di atas kepalaku ini juga mendapat rabaan demi rabaan yang membuatku makin menggelinjang kegelian.
Aku mencoba membuka mataku untuk melihat apa yang terjadi pada diriku. Ternyata sekarang ini aku sedang dikerubuti oleh enam orang sekaligus, dimana aku harus berjongkok dan membiarkan liang vaginaku dipompa dari bawah oleh tukang becak yang mendapat giliran menikmati liang vaginaku sekarang ini.
Sedangkan dua tukang becak yang lain duduk bersila di samping kanan dan kiriku, masih asyik meraba kedua paha dan betisku. Ditambah lagi, dua tukang becak yang lain yang tadinya hanya menonton, entah sejak kapan, mereka kini sudah berdiri di samping kanan dan kiriku.
Dan mereka berdua asyik memberikan remasan pada kedua payudaraku dan mereka juga meraba raba kedua lenganku yang masih tergantung pasrah di atas kepalaku ini. Jantungku makin berdegup kencang, menyadari nantinya ini aku harus melayani mereka semua sampai mereka puas.
“Ngghh…”, aku melenguh sejadi jadinya ketika Dedi melepaskan pagutannya pada bibirku.
Gairahku makin menggelegak karena rangsangan demi rangsangan yang harus kuterima pada sekujur tubuhku ini.
Tanpa ampun, aku harus menyerah dilanda orgasme lagi, padahal orgasmeku yang tadi itu belum reda sepenuhnya.
Setelah beberapa lama melenguh, aku mendesah lemah karena kehabisan nafas, tubuhku yang dikerubuti enam orang ini menggelinjang dan berkelojotan saat aku mendapatkan kenikmatan yang luar biasa ini.
Gerakan tubuhku yang tertahan baik oleh ikatan pada kedua pergelangan tanganku yang tergantung ini, juga gerakan pinggulku yang tertahan karena liang vaginaku yang masih terpaku oleh sebatang penis, ditambah rangsangan berupa rabaan maupun remasan yang bertubi tubi ini, membuat orgasme yang yang melandaku ini makin hebat.
Liang vaginaku terus berdenyut seakan hendak meledak.
Mereka berenam ini benar benar membuatku melayang dalam kenikmatan yang amat sangat. Tapi kini aku benar benar lemas. Memang dulu aku pernah diperkosa ramai ramai, seperti waktu pertama kalinya aku harus kehilangan keperawananku dulu.
Waktu itu aku memang bahkan sudah harus melayani enam orang sekaligus, tapi mereka melakukan dengan lembut. Lagipula aku tiduran di ranjang UKS, tubuhku pun bebas bergerak.
Aku teringat ketika aku harus melayani lima orang buruh di rumah Jenny, aku tak sampai selemas ini. Bahkan waktu aku harus pasrah diperkosa selusin anak SMA yang masih sebaya denganku, aku tak sampai mengalami hal seperti sekarang ini, karena cara mereka waktu bermain denganku itu masih sangat amatiran.
Hanya saja jumlah mereka amat banyak hingga mau tidak mau di akhir acara perkosaan terhadap diriku waktu itu, dan aku teringat kalau aku sampai harus mengistirahatkan tubuhku karena liang vaginaku rasanya sakit kalau aku mencoba berjalan.
Tapi sekali ini aku benar benar lemas, padahal aku baru melayani pemerkosaku yang kedua, yang masih belum orgasme juga ini.
Dan ini masih ada lima orang lagi yang menunggu giliran untuk menikmati tubuhku.
Memikirkan hal ini saja, aku kembali orgasme. Aku menggigit bibir dan memejamkan mataku, menikmati ledakan demi ledakan kenikmatan dalam tubuhku ini. Liang vaginaku benar benar terasa ngilu, sampai akhirnya aku tak kuat lagi. Rasanya tubuku seperti sedang diperas tenaganya, dan aku terkulai lemas…
“Oohh…”, aku mengeluh perlahan saat kesadaranku mulai pulih, dan aku mendengar suara geraman. Bersamaan dengan itu kurasakan semburan cairan hangat di dalam liang vaginaku yang terasa ngilu sekali ini.
Aku membuka mataku ketika aku menyadari kalau tubuhku terguncang guncang. Ternyata tukang becak yang ada di bawahku ini sedang mencapai orgasmenya.
Di sela sela geramannya, tubuhnya terus berkelojotan dan tersentak sentak, membuat aku serasa sedang mengendarai kuda saja. Otomatis tubuhku ini ikut berguncang mengikuti sentakan dari tubuh tukang becak ini.
Kurasakan liang vaginaku ini makin basah saja, dan penis tukang becak ini masih berkedut, membuatku sesaat menggigit bibir karena aku kembali merasa sangat terangsang, memikirkan bahwa ternyata saat aku pingsan tadi tubuhku terus dipompa olehnya.
Setelah aku bisa mengontrol diriku dan kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, aku mencoba mengerti keadaanku, yang ternyata masih tetap seperti sebelum aku pingsan tadi. Aku duduk berjongkok dengan liang vaginaku yang tertusuk oleh penis tukang becak yang mulai sedikit lunak, mungkin karena tadi penis itu baru berejakulasi.
Walaupun begitu tetap saja aku merasa kalau tubuhku seolah dipaku dari bawah, menahan gerakan pinggulku.
Kedua tanganku juga masih tergantung dan terikat di atas kepalaku. Yang berbeda hanyalah empat tukang becak yang lain itu kini duduk secara sembarangan di sudut sudut pembaringan tempat aku diperkosa ini. Mungkin mereka memberikan ruang bernafas bagiku setelah melihatku pingsan tadi.
Sedangkan Pak Jamil, yang mendapat giliran pertama memperkosaku tadi, sudah tak terlihat. Mungkin ia menjaga kiosnya, supaya tak ada yang curiga di gubuknya sedang terjadi pemerkosaan yang brutal ini.
Dan aku baru menyadari, ada yang sedang membelai memainkan rambutku di belakang. Aku menoleh untuk melihat siapa pelakunya, walaupun aku sudah bisa menebak ini pasti perbuatan Dedi.
Dan memang aku melihat Dedi, yang sekarang sedang menciumi setiap centi dari rambutku yang panjang ini, sesekali ia menghirup bau rambutku sambil memejamkan matanya, terlihat sekali Dedi sangat menikmati harumnya bau rambutku ini.
Aku tersenyum kecil dan membiarkan Dedi berbuat sesuka hatinya terhadap rambutku. Lagipula aku memang merasa senang ketika melihat Dedi mengelus dan menciumi rambutku. Entah apa yang ia suka dari rambutku ini, dan juga para pemerkosaku yang sebelum sebelumnya.
Rasanya aneh, tapi aku teringat memang selalu ada perasaan heran bercampur senang dalam diriku ketika beberapa lelaki yang memperkosaku menunjukkan kalau mereka itu suka sekali menyentuh, membelai dan memainkan rambutku.
Bahkan mereka suka mencium dan menghirup bau rambutku, hal itu mungkin karena rambutku yang lurus dan panjang sampai setengah lengan atasku ini, halus dan selalu berbau harumnya shampoo. Memang sejak kecil aku sudah dibiasakan untuk rutin keramas tiap dua hari sekali.
Dan sejak aku jatuh ke tangan para pemerkosaku di UKS waktu itu, selanjutnya hampir tiap hari aku harus mengalami pemerkosaan demi perkosaan. Dan di setiap perkosaan itu tentunya aku harus berkeringat, yang membuat aku merasa rambutku tak nyaman dan lembab. Karena itulah hampir tiap hari aku harus mandi keramas, hingga rambutku pasti selalu berbau harumnya shampoo.
Dedi memeluk tubuhku dari belakang, menyadarkanku dari lamunanku. Ia masih menciumi rambutku, dan mulai meraba kedua payudaraku. Dari meraba, Dedi lalu meremas kedua payudaraku dengan lembut, membuatku kembali terangsang dalam perasaan yang nyaman dan enak.
“Sshh…”, aku memejamkan mata dan mendesis pelan.
“Oh… si cantik ini sudah bangun akhirnya”, goda Dedi, membuatku tersipu malu.
Senang juga aku disebut Dedi si cantik. Apalagi kemudian ia mencium bibirku dengan lembut, dan aku tak malu malu lagi, membalas ciuman Dedi.
Sesaat kemudian Dedi mengalihkan ciumannya ke pipiku, dan kemudian dengan nakalnya Dedi mengulum telingaku yang kanan.
“Ohh… Deed…”, karena tak kuat menahan geli, aku menggeliat lemah sambil mengeluh manja. Dan selagi aku mengeliat kegelian, tiba tiba Dedi melepas kulumannya pada telingaku ini.
“Kenapa Eliza? Enak ya?”, ia berbisik di telingaku yang pasti amat basah oleh air ludahnya itu.
Aku mengangguk lemah dan tersenyum malu sekali.
Melihat Dedi yang mulai berlaku lembut pada diriku, dengan memberikan ciuman ciuman lembut pada kedua payudaraku, maka aku memberanikan diri untuk merengek padanya.
“Ded… lepasin tanganku dong… pegal nih”, kataku pelan.
Dedi menatapku sesaat, tapi kemudian ia tersenyum lalu melangkah dan berdiri di hadapanku, otomatis penisnya yang tegak mengacung itu kini ada di hadapanku.
Dan entah setan apa yang merasuk dalam diriku, atau aku yang memang sudah begitu larut menikmati perkosaan ini, tanpa bisa kutahan, tubuhku bergerak sendiri di luar kendaliku seolah ada yang memerintahkanku untuk mengulum penis milik Dedi ini!
“Ohh… Eliza…”, erang Dedi ketika aku sudah mengulum penisnya.
Aku sendiri merasakan jantungku berdegup dengan sangat kencang. Aku baru saja memberikan servis oral pada Dedi tanpa dimintanya, dan aku tahu sebentar lagi aku pasti akan menerima entah ejekan ataupun hinaan. Tapi aku tak perduli lagi, toh penis ini sudah terlanjur berada dalam mulutku.
Aku mulai memutar lidahku menjilati seluruh lingkar penis itu. Setelah aku puas melihat pemiliknya berkelojotan saat aku mencuci penisnya dengan air ludahku, aku menjepitkan bibirku pada batang penis itu dengan cukup kuat, lalu kudorongkan kepalaku hingga akhirnya bibirku mencapai pangkal penis Dedi.
Dedi melenguh keenakan, mungkin karena ia merasa batang penisnya yang tadinya seolah sedang diurut oleh jepitan bibirku, kini kepala penisnya terjepit erat dalam tenggorokanku.
Apalagi ketika aku mencoba menelan kepala penis itu, Dedi melolong keenakan dan berkelojotan, membuat tenggorokanku sedikit sakit diterjang penis Dedi yang seolah ikut meronta.
“Ooohh… Elizaa…”, Dedi terus mengerang keenakan.
Langsung saja kudengarkan sorakan sorakan dan komentar dari mereka yang sedang menonton perbuatanku ini.
“Gila nih amoy… cakep cakep, hobi nyepong juga…”
“Habis pingsan, sadar sadar malah tambah ganas nih amoy…”
“Memeknya kegatelan kali…”
“Nanti kita kita juga disepong lho non…”
Ledekan demi ledekan yang kudengar dari beberapa tukang becak yang belum mendapat giliran untuk memperkosaku, membuat kupingku rasanya panas. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, dan aku terus mengoral penis Dedi.
“Hei To! Gantian To!”, kata salah satu tukang becak yang menunggu gilirannya menikmati tubuhku.
Kurasakan ada yang memegangi kedua pinggulku dari belakang. Dan selagi aku masih sibuk mengoral penis Dedi, pinggulku terus diangkat oleh tukang becak di belakangku yang tampak sekali kalau sudah tak sabar untuk mengambil gilirannya untuk menikmati tubuhku ini
“Mmmph…”, aku merintih tertahan.
Rasanya enak sekali waktu penis tukang becak yang dipanggil Bang To itu, perlahan tertarik lepas dari liang vaginaku.
Walaupun penis itu sudah agak loyo dan tak sekeras tadi itu, tetap saja aku merasakan seperti ada benda yang tadinya menancap di dalam liang vaginaku ini sekarang tertarik keluar, menggaruk dan mengorek dinding liang vaginaku ini, dan hal ini membuatku makin terangsang saja.
Tapi aku jadi bertanya tanya, apa ya maunya tukang becak di belakangku ini?
“Oooh… nikmatnya memekmu, amoy cantik…”, puji Bang To.
“Enak ya memeknya amoy ini To?”, tanya calon pemerkosaku berikutnya dengan antusias.
“Seret Har, seperti memek perawan saja. Tapi licin licin gimana ya… pokoknya jaminan mutu Har!”, kata Bang To mempromosikan nikmatnya liang vaginaku pada Bang Har, sambil beringsut turun dari sisi kiri pembaringan tempat aku jadi bulan bulanan ini.
Maka Bang Har yang mungkin sudah terbakar nafsu itu, langsung mengangkat pinggulku ke atas.
Ketika aku merasa kedua telapak kakiku sudah tergantung, reflek kupijakkan kedua kakiku ini pada pembaringan.
Bagian V
“Nah gitu non amoy… non amoy ini memang pintar, tau aja apa mau abang. Ternyata non amoy ini pintar sekali ya kalau disuruh melayani laki laki?”, ejek Bang Har yang sedang memegangi pinggulku ini.
“Asyik juga nih amoy, cantik cantik, doyan seks juga rupanya…”, sambung tukang becak yang lain lagi, entah tukang becak yang mana, dengan nada yang sangat merendahkanku.
Aku baru menyadari kalau pose tubuhku sekarang ini memang amatlah sexy dan menantang. Kedua tanganku yang terikat pada bagian pergelangan ini masih tergantung ke atas, menahan tubuhku bagian depan supaya tak jatuh ke bawah, dan aku tahu kedua payudaraku kini pasti sedang tergantung bebas menantang, siap untuk menerima segala rabaan maupun remasan dari para pemerkosaku.
Kedua kakiku sendiri yang sekarang ini sedang terpentang lebar, berpijak menahan tubuhku bagian belakang. Dengan badanku yang mendatar tertahan ikatan pada kedua tanganku yang tergantung pasrah, pose tubuhku sekarang ini tak ubahnya seperti posisi seorang wanita yang sedang menungging.
Maka sekarang ini aku seolah sedang menyajikan selangkanganku kepada Bang Har berdiri di belakangku ini, dan karena itu lagi lagi aku menerima ejekan karena aku kembali mempermalukan diriku sendiri.
Tapi gilanya, aku sudah tak memperdulikan ejekan ataupun hinaan dari mereka lagi, malahan aku masih terus saja memberikan servis oral pada Dedi, yang kini mulai membelai dan meremasi rambutku.
Bahkan untuk sesaat aku menjadi sangat terangsang, karena aku membayangkan pose tubuhku saat ini pastilah sexy sekali.
Aku tahu sekarang ini aku sudah terlihat amat murahan di depan mereka. Mungkin di mata mereka aku ini sudah terlihat sebagai amoy SMA yang haus seks.
Tapi semua ini membuat gairahku semakin bergejolak. Penis Dedi yang ada di dalam mulutku ini kuhisap kuat kuat sampai Dedi berkelojotan dan melolong lolong minta ampun, dan aku tak perduli dengan hal itu.
Aku terus asyik melumat penis Dedi dan kurasakan kedua pahaku diremas oleh Bang Har yang sudah siap memperkosaku dari belakang ini.
Dengan jantung yang berdegup tak karuan, aku menyadari kalau sebentar lagi aku harus merelakan tubuhku untuk menampung dua penis sekaligus, satu yang sekarang ini ada di dalam rongga mulutku, dan satu lagi entah akan melesak ke dalam liang vaginaku, atau anusku.
“Mmpph…”, aku meronta kecil yang memang tak mungkin ada artinya, karena aku memang tak bisa berbuat banyak dengan tubuhku yang sudah tersaji seperti ini.
Aku mencoba berontak karena tiba tiba saja aku merasa panik. Sudah lama sekali sejak aku terakhir harus disodomi, yaitu ketika aku jatuh ke tangan lima orang buruh di rumah Jenny itu.
Tapi apa yang bisa kulakukan? Kedua pantatku sudah diremas dengan kuat oleh Bang Har, dan selangkanganku seolah terkuak membuka jalan bagi penisnya untuk menembus liang kenikmatanku.
Kini aku hanya bisa pasrah menunggu nasib, karena bagi Bang Har yang sudah bersiap siap di belakangku ini, di depannya ada dua pilihan liang kenikmatan dari tubuhku, yang bisa dipilihnya dengan bebas untuk dipakai memuaskan nafsunya.
Aku terus berharap semoga yang dipilihnya adalah liang vaginaku, karena tetap saja dari pengalamanku yang sudah sudah, pedih yang kuterima di awal saat saat diperkosa lewat anus ini, rasanya tak sebanding dengan nikmat yang kudapatkan.
Ketika kurasakan kepala penis Bang Har menempel di bibir vaginaku dan mulai mendesak masuk, dengan tenang aku menikmati saat saat terbelahnya liang vaginaku oleh penis Bang Har, yang aku tak tahu seberapa panjangnya dan seberapa besarnya.
Sambil mencoba mengira ngira ukuran penis Bang Har, aku meneruskan pemberian servis oral dariku kepada Dedi, yang penisnya kurasakan makin mengeras dan terus berdenyut denyut ini.
“Aduh… Elizaa… enaknya seponganmuu…”, lolong Dedi keenakan.
“Mmmpph…”, aku merintih tertahan dalam kenikmatan yang amat sangat karena kini liang vaginaku sudah dipompa dengan gencar.
“Ooooh… sempitnya memek amoy cantik ini…”, racau Bang Har.
Demikianlah di dalam ruangan ini aku jadi obyek pesta seks mereka, aku diperlakukan bagaikan budak yang harus melayani nafsu seks mereka semua, tapi jujur saja aku sungguh menikmati semua ini.
Hentakan hentakan kasar dari Bang Har saat menggenjot tubuhku membuatku terus merintih keenakan, apalagi penis Bang Har ini tergolong panjang, sehingga tiap Bang Har membenamkan seluruh penisnya, tubuhku mengejang dan menggeliat keenakan dibuatnya.
“Aaahhh…”, aku merintih nikmat sambil terus menghisap dan mengulum penis Dedi.
“Kenapa Eliza? Kamu kurang puas ya kalau cuma dikeroyok dua orang?”, goda Dedi sambil membelai rambutku.
Kali ini tak kurasakan adanya nada ejekan pada kata katanya, beda sekali dengan sebelum sebelumnya, dimana tiap ucapan Dedi selalu bernada sinis dan penuh ejekan terhadapku.
Belum sempat aku bereaksi, Dedi sudah berkata, “Ayo pak, dua orang… susu amoy ini masih nganggur nih…”
Perasaanku makin tersengat saja mendengar perkataan Dedi ini. Seharusnya aku marah mendengar perkataan Dedi yang termasuk amat kurang ajar itu, tapi membayangkan aku akan kembali dikerubuti oleh para tukang becak ini membuatku makin terangsang, dan dengan gemas aku menghisap penis Dedi kuat kuat.
“Oooh Elizaaa…”, erang Dedi keenakan.
Dua orang tukang becak yang tadinya duduk di sudut pembaringan di depanku, kini sudah berdiri di samping kanan dan kiriku.
Tentu saja mereka tak hanya berdiri menganggur di sana. Kedua payudaraku segera mendapat remasan dan rabaan yang kasar. Kedua puting payudaraku juga jadi bahan mainan mereka berdua.
“Mmmpph…”, lagi lagi aku merintih tertahan, sesekali aku menggeliat kesakitan.
Tapi semua itu tak membuatku menghentikan servis oralku pada Dedi yang terus mengerang keenakan. Lagipula aku senang sekali karena Dedi terus membelai rambutku dengan lembut.
Bahkan kedua tukang becak yang sedang asyik memainkan payudaraku, kini juga mulai menyentuh dan membelai rambutku yang terurai jatuh ke bawah di kedua sisi leherku.
“Non amoy, rambutnya kok bisa halus gini?”, celetuk tukang becak di sebelah kiriku sambil terus membelai rambutku.
“Hmm…”, sambung tukang becak di sebelah kananku yang sedang menghirup rambutku, dan ia berkata lagi, “Wangi ya non rambutnya non amoy ini…”
Mendapat pujian demi pujian di tengah keroyokan mereka, aku makin merasa senang. Apalagi kemudian remasan remasan mereka pada kedua payudaraku ini sudah tak terasa begitu menyakitkan, entah karena mereka yang mengurangi kekuatan remasan mereka, atau memang kedua payudaraku yang sudah mulai beradaptasi menerima siksaan ini, yang jelas sekarang ini aku merasa nyaman sekali menerima remasan demi remasan pada kedua payudaraku ini.
Walaupun begitu, aku mulai berpikir untuk mencoba mempercepat selesainya pemerkosaan terhadap diriku ini. Kucoba untuk sedikit menggerakkan pinggulku, ke samping kiri dan ke samping kanan, lalu kucoba untuk menarik pinggulku ke depan dan kembali mendorongkan pinggulku ke belakang.
“Oooh… huoohh… enaaak…”, Bang Har di belakangku melolong lolong karena perbuatanku tadi.
Aku sendiri bukannya sedang dalam keadaan ‘di atas angin’.
Gerakanku tadi membuat aku sendiri merasa batang penis Bang Har seolah sedang mengorek ngorek seluruh dinding liang vaginaku, membuatku harus mengejang dan mengeliat keenakan.
Aku bahkan harus membuka jepitan bibirku pada batang penis Dedi karena aku sudah tak tahan lagi untuk melenguh.
“Ngghhh… mmpphh…”, aku sempat melenguh namun mulutku segera tersumbat oleh penis Dedi, sementara itu seluruh tubuhku bergetar menahan nikmat.
Tapi aku tak ingin menyerah, aku harus segera membuat Bang Har ejakulasi. Kuteruskan gerakanku yang tadi, dan aku berjuang untuk tidak melenguh agar aku bisa kembali mengoral penis Dedi.
Teman sekolahku ini juga harus segera kubuat ejakulasi secepat mungkin, sebab masih ada tiga tukang becak yang menunggu antrian untuk menikmati tubuhku.
Bahkan dua dari mereka sedang asyik meremasi kedua payudaraku ini adalah calon penikmat tubuhku.
Beberapa saat kemudian setelah aku yang malah terangsang hebat, aku baru menyadari, satu lawan empat seperti ini, bisa dipastikan aku yang akan mendapat orgasme terlebih dahulu sebelum Bang Har ataupun Dedi yang hanya mendapat rangsangan pada penis mereka
Sedangkan aku selain dipompa oleh Bang Har, aku juga merasakan sensasi tersendiri saat aku mengulum penis Dedi, juga ditambah dengan remasan remasan pada kedua payudaraku.
Sekuat apapun aku berusaha bertahan, akhirnya mereka berempat berhasil menaklukanku lagi. Aku kembali dilanda orgasme yang tak terperikan nikmatnya.
“Nggghh… ngghhh…”, aku melenguh sejadi jadinya, karena seluruh tubuhku seperti tersengat listrik.
Tubuhku tersentak sentak saat aku melepaskan semua ledakan kenikmatan ini, dan aku kini sudah lemas sekali. Seluruh tulangku rasanya terlepas dari persendiannya, dan aku bahkan sudah hampir tak punya tenaga untuk memijakkan kakiku. Kedua kakiku, seperti sekujur tubuhku, gemetar lemas, tak kuasa menahan segala kenikmatan yang melanda ini.
Kini tak ada yang bisa kulakukan, selain pasrah menunggu Bang Har orgasme.
Aku sudah tak mampu menggerakkan pinggulku, bahkan aku sudah terlalu lelah untuk menggerakkan kepalaku seperti tadi saat memberikan servis oral pada Dedi.
Ingin aku memohon kepada Dedi dan yang lainnya ini untuk diperbolehkan istirahat sebentar, tapi kuurungkan niatku karena aku berpikir tidak mungkin mereka mau menunda kesempatan menikmati amoy SMA seperti diriku ini.
“Aaah… aaanggkhh…”, aku melenguh keras sekali dan mataku terbeliak ketika tiba tiba kurasakan kedua pahaku dipegang dan diangkat oleh Bang Har, hingga kini aku melayang di atas pembaringan ini dengan kaki terpentang dan liang vaginaku masih dalam keadaan tertancap batang penis Bang Har.
“Wow… bener bener seksi nih amoy”, entah siapa yang berkomentar, karena lagi lagi aku sudah dalam keadaan setengah sadar.
Diperkosa dalam posisi melayang seperti ini belum pernah kualami sebelumnya, kini aku benar benar dalam kekuasaan mereka, pasrah menerima semua siksaan birahi ini.
“Oooh… Bang Har… ampun… emmpph…”, kata kataku terhenti ketika mulutku kembali disumbat oleh penis Dedi, yang kini memegangi kepalaku dan memaju mundurkan pinggulnya sehingga penisnya seperti sedang memperkosa mulutku.
Aku makin tersiksa karena kedua payudaraku diremas remas dan ditarik tarik ke bawah oleh dua tukang becak sialan yang memang sejak tadi sedang memainkan kedua payudaraku ini, membuat ikatan tali rafia pada kedua pergelangan tanganku ini mulai menyakitiku.
Bahkan seolah belum cukup menyiksaku, kedua puting payudaraku dipencet, dipilin dan ditarik tarik oleh mereka, membuatku terus berkelojotan dan aku harus merintih rintih antara kesakitan dan keenakan.
“Elizaa… mulutmu benar benar enak… nggak kalah sama memekmu, cantik…”, Dedi meracau seenaknya, dan aku pasrah saja diperkosa dari depan dan belakang seperti ini.
“Arrghh…”, kudengar geraman Bang Har
Tiba tiba kurasakan penis Bang Har sedang berkedut keras di dalam liang vaginaku. Aku sedikit merasa lega ketika kurasakan cairan spermanya menyemprot deras membasahi seluruh dinding liang vaginaku yang sudah amat basah ini. Beberapa kali Bang Har melesakkan penisnya dalam dalam, seolah ingin melepaskan semua kenikmatannya dan menuangkan semua cairan spermanya di dalam liang vaginaku, sedangkan aku hanya bisa menggeliat lemah dibantai dan dijadikan bulan bulanan seperti ini oleh mereka.
Setelah puas menikmati tubuhku, Bang Har menarik penisnya yang tertancap di liang vaginaku, dan dengan seenaknya ia melepaskan pegangannya pada kedua pahaku, membuat kedua kakiku jatuh ke bawah dan posisiku sekarang menjadi berlutut di depan Dedi, dan kedua tanganku masih tergantung pasrah.
Rasanya sedikit sakit ketika lututku terantuk pada pembaringan yang hanya beralas tikar ini.
Dedi makin bersemangat memperkosa mulutku, dengan gencar penisnya memompa mulutku hingga kepalaku terguncang guncang mengikuti sentakan penisnya. Dedi terus meracau keenakan, sedangkan aku hanya bisa melayani dengan mengulum sekedarnya karena tubuhku masih terasa amat lemas.
Bahkan aku merasa seluruh tubuhku sedikit gemetar. Entah apa karena aku kelelahan atau ini masih merupakan sisa efek orgasme yang tadi melandaku ini.
Tiba tiba Dedi menarik lepas penisnya dari kulumanku. Aku segera menarik nafas sebisanya, dan kepalaku terkulai lemas, aku bahkan nyaris tak punya tenaga untuk mengangkat kepalaku, rasanya lelah sekali.
“Ded… udahan dong… lepasin tanganku ya… sakit nih…please…”, dengan nafas tersengal sengal aku mencoba memohon pada Dedi untuk mengakhiri semua ini dan melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tanganku ini.
“Eliza… bener nih kamu minta dilepasin?”, tanya Dedi yang kini berjongkok di depanku.
Wajah Dedi yang seperti penjahat itu kini begitu dekatnya sampai hampir menempel pada wajahku. Pertanyaan tadi itu dilontarkan oleh Dedi dengan nada yang sangat menggodaku, membuat jantungku berdegup kencang.
Entah kenapa aku diam saja, seperti ragu untuk menjawab, membuatku heran pada diriku sendiri. Masa aku suka diperlakukan seperti ini? Diikat dengan kejam seperti ini? Diperkosa ramai ramai dengan kasar seperti ini?
Jujur saja sejak tadi aku malah menikmati ketidak berdayaanku, dan aku malah terangsang hebat ketika aku berada dalam kerubutan para lelaki yang amat menginginkan tubuhku. Aku sampai bertanya tanya, apakah aku memang mengidap kelainan seks? Apakah aku suka digangbang seperti ini?
“Ah…”, aku terkejut ketika Dedi melingkarkan tangannya pada tubuhku, lalu mencari dan meremas pantatku dan menarik tubuhku ke atas hingga aku harus berdiri.
Tapi tentu saja aku sudah terlalu lemah untuk berpijak dengan kedua kakiku yang terasa gemetar ini.
“Ded… jangan lepasin… aku udah nggak kuat berdiri nih…”, keluhku.
“Tenang cantik… siapa yang mau ngelepasin pantat kamu… hahaha…”, Dedi tertawa menggodaku sambil terus meremas kedua pantatku, membuatku risih dan mukaku terasa panas sekali.
“Maksudku…”, aku mencoba menjelaskan.
“Maksudmu jangan berhenti meremas pantat kamu kan, Eliza? Hahaha… tenang saja cantik”, perkataanku dipotong oleh Dedi.
Berkata begitu, Dedi malah memperkuat tenaga remasannya pada kedua pantatku, membuatku hanya bisa menggeliat lemah.
Aku sudah malas membantah, dan kubiarkan Dedi berbuat apa saja terhadap diriku. Sudah beberapa kali ia memanggil aku dengan sebutan cantik, membuatku diam diam merasa senang juga. Dedi terus meremasi kedua pantatku, dan ia juga menciumi seluruh wajahku dengan sangat bernafsu. Aku memejamkan mataku mencoba menikmati semua perlakuan Dedi ini.
Agak lama Dedi mencumbui wajahku, lalu tiba tiba ia menghentikan remasannya pada kedua pantatku, lalu tangannya bergerak merayap ke atas, dan memeluk pinggangku dengan erat hingga tubuhku menempel pada tubuhnya. Penis Dedi yang masih tegang sejak tadi itu kini menempel di perutku, membuatku gelisah dan terangsang.
Aku membuka mataku, dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa mau Dedi kali ini?
“Eliza…”, desah Dedi dengan suara berat.
Dari rona dan raut mukanya, juga nafasnya yang tak beraturan, aku tahu saat ini Dedi sudah benar benar terbakar nafsu. Sadar akan hal itu membuatku sedikit bergidik, dan aku tak berani membayangkan apa yang bisa dilakukan oleh teman sekolahku ini padaku.
Sambil terus memeluk pinggangku, Dedi mendorongku mundur, hingga kepalanya masuk ke tengah kedua tanganku disatukan pada pergelangan tanganku ini. Kini ganti kedua tanganku yang melingkari leher Dedi ini yang menopang tubuhku agar tetap berdiri, sehingga ikatan pada kedua pergelangan tanganku ini makin menyakitiku.
“Ded… mau apa kamu…”, desahku lemah.
“Tenang cantik… kamu pasti suka kok…”, kata Dedi dengan nafas memburu.
“Kamu mmpph…”, kata kataku terputus karena Dedi sudah melumat bibirku dengan ganas.
Aku pasrah saja, dan sambil membalas ciuman Dedi dengan sisa tenagaku, aku mencoba mencari posisi yang paling nyaman agar aku bisa mengistirahatkan tubuhku. Tapi sebentar kemudian Dedi melepaskan pagutannya pada bibirku, dan ia menatapku dengan pandangan yang seolah ingin menelanku bulat bulat.
Dedi menyusupkan tangannya kebawah, mengait kedua pahaku, lalu dengan perkasa Dedi melebarkan dan mengangkat kedua pahaku hingga menempel pada sisi kanan dan kiri perutku.
Karena betisku tergantung lemas, kini aku seperti sedang jongkok di udara dan menggantungkan kedua tanganku di belakang leher Dedi.
“Auww…”, aku mengeluh manja ketika kurasakan ujung kepala penis Dedi bergesekan dengan bibir liang vaginaku.
Darahku berdesir, kini aku tahu apa mau Dedi sekarang ini. Ia akan menggagahiku dalam gendongannya, seperti yang sering dilakukan oleh Wawan, pembantuku di rumah. Gairahku sudah benar benar menguasaiku, dengan penuh harap aku menunggu masuknya penis Dedi ke dalam liang vaginaku.
“Mau kan cantik?”, goda Dedi.
“Mmmhh…”, aku yang sudah terbakar gairahku sendiri ini agak malas bercakap cakap, aku ingin Dedi segera menyetubuhi aku.
“Kalau nggak mau, aku turunin kamu lho!”, ancam Dedi sambil tersenyum nakal.
“Mau… Aku mau Ded…”, kataku buru buru sambil mengangguk penuh harap.
Semua yang ada di ruangan ini menertawakanku.
“Memang doyan seks nih amoy…”
“Pantas dia sampai membayar kita kita untuk memuaskannya…”
“Memang sip amoy yang satu ini…”
“Mana memeknya seret lagi…”
“Susunya juga asyik, empuk empuk kenceng…”
“Habis ini satu lawan tiga lho non amoy…”
“Siap siap mulet mulet ya non amoy… hahaha…”
Lagi lagi aku mendengar komentar komentar cabul yang memanaskan hati dan telingaku, namun aku mencoba tak memperdulikan semua itu.
“Baik, kalau begitu, siap ya cantik…”, kata Dedi sambil mulai menurunkan tubuhku.
“Aahh… aangghhk…”, aku mengerang dan melenguh karena penis itu terus menusuk dan membelah liang vaginaku.
Aku menggeliat keenakan, tapi gerakanku malah membuat penis itu tertanam semakin dalam pada liang vaginaku, membuatku tak berani terlalu banyak bergerak lagi karena rasanya selangkanganku sekarang ini amat penuh dan ngilu.
“Enak kan cantik?”, goda Dedi.
“Mmmh… iyaah…”, aku mati matian mencoba menjawab di tengah nafasku yang sudah tak karuan ini.
Sekarang ini aku sudah benar benar terbakar gairahku sendiri, menunggu Dedi segera menyiksaku, memperkosaku, memompa liang vaginaku, memaksa aku orgasme.
“Sshh… ooohh… ammpuun Deeed…”, aku mengerang tak kuasa menahan nikmat ketika Dedi menyentak nyentakkan tubuhku dengan tiba tiba, hingga penisnya yang tertarik dan terhunjam dengan cepat ini serasa mengorek ngorek dinding liang vaginaku.
Tubuhku menggeliat keenakan dan terus terlonjak lonjak mengikuti irama sentakan Dedi. Kepalaku terdongak ke belakang dan aku hanya bisa memejamkan mata dan pasrah menerima semua kenikmatan ini.
“Eempphh…?”, selagi aku dipermainkan oleh Dedi, kurasakan bibirku dipagut dengan ganas oleh seseorang.
Bukan Dedi. Tak mungkin Dedi bisa menjangkau bibirku selagi kepalaku terdongak seperti ini. Tapi aku malas membuka mataku untuk mencari tahu siapa yang sedang menikmati bibirku ini.
Kubiarkan saja bibirku dilumat sepuas puasnya oleh orang yang beruntung itu. Bahkan perlahan aku mulai merespon ciuman ini di tengah rasa ngilu yang mulai melanda liang vaginaku.
“Ohhh… Eliza… memek loe memang enaak…”, erang Dedi yang dengan sepenuh tenaganya terus menyodokan penisnya pada liang vaginaku, membuatku menggeliat keenakan dan melenguh lenguh tertahan karena bibirku sedang dilumat habis oleh salah satu calon pemerkosaku berikutnya nanti.
“Mmmphh…”, aku kembali harus merintih karena tak kuasa menahan nikmat ketika kurasakan kedua payudaraku kembali menerima remasan remasan kasar.
Kini aku sudah kembali dikerubuti para lelaki yang haus akan tubuhku dan ini membuatku melayang dalam kenikmatan yang amat sangat. Nafasku semakin tersengal sengal, tubuhku mulai bergetar dan sesekali mengejang hebat karena menerima rangsangan yang bertubi tubi ini.
Kini gairah birahi yang terus menerus menghantamku ini membuatku makin liar. Kulingkarkan kedua betisku hingga mengait pinggang Dedi, dan kutekan tekankan selangkanganku ke bawah menyambut tiap sodokan penis Dedi.
“Aaarrghh… terus Elizaaa…”, erang Dedi di tengah persetubuhan kami yang makin gila ini.
Entah apa yang dirasakan Dedi saat aku terus terus meliuk liukkan pinggulku seperti ini, yang kupikirkan sekarang ini hanyalah mencari kenikmatanku sendiri sepuas puasnya di pelukan Dedi dan keroyokan para tukang becak ini.
Tapi celakanya aku lupa, kalau rasa nikmat yang kudapat ini harus kubayar dengan makin cepatnya aku harus mengalami orgasme lagi.
Penis Dedi serasa makin dalam saja menghunjami liang vaginaku yang mulai terasa begitu ngilu ini, dan hal ini membuatku makin tak kuasa menahan nikmatnya adukan penis Dedi yang seolah makin liar mengorek ngorek dinding liang vaginaku.
Entah aku menggeliat seperti apa, tubuhku tersentak sentak tak karuan, kepala dan tubuhku seperti terlempar ke sana kemari hingga bibirku terlepas dari pagutan yang sejak tadi membungkamku.
“Nggghhh… aduuuh Deeed… nggghhh…”, aku langsung melenguh sejadi jadinya ketika orgasme yang amat hebat kembali meluluh lantakkan tubuhku.
Beberapa kali tubuhku harus menggeliat dan mengejang tak karuan, pinggangku sampai melengkung ke belakang saat tubuhku harus bertahan dalam badai orgasme.
Kedua betis kakiku yang tadinya mengait pinggang Dedi sempat melejang lejang beberapa kali, dan akhirnya Dedi menangkap kedua pahaku tepat sebelum kedua betisku jatuh menggelantung lemas ke bawah.
“Lihat, amoy cantik ini memang senang ya main keroyokan gini…”, kata salah satu dari mereka.
Aku tak tahu siapa yang mengatakan itu, dan aku tak perduli. Aku sudah benar benar larut menikmati semua ini, bahkan tubuhku masih gemetar akibat orgasme tadi. Kini aku menyandarkan kepalaku di atas pundak Dedi, sekalian mengistirahatkan tubuhku yang sudah amat lelah dan basah oleh keringat ini.
“Kok sudah lemas, cantik?”, bisik Dedi di telingaku.
“Mmmm…”, aku malas menjawab.
“Masih ada tiga lagi cantik”, bisik Dedi lagi.
Wajahku rasanya panas ketika diingatkan tentang masih adanya tiga orang yang akan menggilirku setelah ini. Aku menyadari Dedi ini belum ejakulasi, dan penisnya yang menancap pada liang vaginaku ini masih terasa begitu keras.
Entah mau sampai kapan ia menggagahi tubuhku yang sudah hampir tak bertenaga ini, yang terkuras habis karena orgasme berkali kali terhitung sejak di sekolah tadi.
Aku diam saja, membiarkan tubuhku berada dalam pelukan erat Dedi. Tapi aku kembali teringat kalau aku harus cepat memuaskan Dedi kalau ingin semua ini segera selesai, apalagi memang masih ada tiga orang tukang becak lagi yang harus kulayani.
Maka perlahan kugerakkan pinggulku, kebawah, kebelakang, ke kanan, ke kiri, dan memang hal ini berhasil membuat Dedi mengerang keenakan, tapi aku sendiri juga harus mendesis nikmat. Aku mencoba bertahan dan terus berusaha merangsang Dedi agar segera orgasme.
Dan memang setelah beberapa saat aku mati matian mencoba di tengah deraan kenikmatan yang balik menghantam tubuhku ini, akhirnya Dedi mulai menggeram juga, geraman seorang lelaki yang sedang menuju kenikmatannya.
“Arrggh… Elizaaa”, lolong Dedi ketika kurasakan penisnya berkedut kedut di dalam sana, menyemprotkan sperma yang hangat, banyak sekali.
“Oooh… aduuuh…”, aku juga mengerang dan merintih keenakan, walaupun belum sampai orgasme lagi.
Tapi aku sudah lemas sekali, dan kini aku menyandarkan tubuhku di pelukan Dedi, hingga dada kami menyatu dan aku memejamkan mataku, memikirkan keadaanku saat ini.
Liang vaginaku ini entah sudah becek seperti apa. Cairan cintaku sendiri juga sperma sperma dari para pemerkosaku, sejak tadi terus bercampur mengiringi kenikmatan demi kenikmatan yang tercipa baik terhadap diriku maupun terhadap para pemerkosaku.
Rasanya tulang tulang di seluruh tubuhku ini terlepas dari sambungannya, membuatku tak mampu bergerak lagi, dan aku hanya pasrah saja menunggu sesi perkosaan selanjutnya terhadap diriku.
“Eh non amoy, sudah waktunya kita main bertiga”, kata salah seorang dari tiga tukang becak yang kelihatannya sudah tak sabar untuk turut menikmati tubuhku, membuatku membuka mata untuk memperhatikan apa yang akan segera terjadi pada diriku.
Ia memutus ikatan pada kedua pergelangan tanganku dengan sebuah silet yang mungkin milik pak Jamil, pemilik gubuk ini. Kini kedua tanganku terbebas dari ikatan yang cukup menyakitiku, yang sebenarnya malahan membuatku terangsang karena rasa tak berdaya yang melanda diriku ini.
“Dar… Darto… pegang kakinya”, kata tukang becak yang memegangi punggungku.
“Sip Bang Kasan”, aku melihat tukang becak yang dipanggil Darto menjawab sambil beranjak menuju ke arahku, lalu memegang paha kiriku.
“Ayo Dul, jangan diam saja”, kata Bang Kasan yang sudah mulai meremasi kedua payudaraku dengan kasar, membuatku menggigit bibir menahan sakit.
Sesaat aku menggeliat, tapi tak banyak yang bisa kulakukan dengan keadaanku yang sudah hancur hancuran ini.
Tukang becak yang dipanggil Dul itu tadi memutuskan ikatan pada pergelangan tanganku ini, menghampiriku, lalu memegang paha kananku.
Mereka bertiga ini memang yang mendapat giliran berikutnya untuk memperkosaku.
“Enggh…”, aku melenguh ketika mereka merenggutku dari pelukan Dedi.
Hal ini membuat penis Dedi yang masih bersemayam dalam liang vaginaku ini tertarik perlahan hingga serasa mengorek dan menggaruk dinding liang vaginaku.
Dedi menyempatkan dirinya untuk mencium bibirku dengan lembut sebelum menyerahkan diriku pada tiga orang tukang becak ini.
“Sabar non amoy, kita baru akan mulai kok”, kata Bang Jo itu sambil menyeringai padaku.
“Bang Kasan… boleh istirahat sebentar ya bang… saya capek”, aku memohon pengertian dari Bang Kasan.
Tubuhku sudah serasa remuk semua, paling tidak aku berharap mereka mau memberikan kesempatan padaku untuk beristirahat barang sebentar.
“Hahaha… boleh kok non… istirahatnya tengkurap ya”, kata Bang Kasan.
Aku mengangguk lemas. Mereka bertiga tertawa tawa dan berikutnya aku sudah direbahkan di pembaringan ini. Kepalaku terbaring miring menghadap ke dinding, dan tentu saja mereka bertiga mengerumuniku. Sesekali kurasakan mereka membelai punggungku.
Baru kusadari, dalam posisi ini aku hanya akan bisa merasakan apa yang mereka lakukan pada tubuhku tanpa bisa kulihat langsung.
Tapi aku diam saja, toh dengan begini aku bisa mengistirahatkan tubuhku, terutama pinggangku yang serasa akan patah ini. Sudah berkali kali pinggangku tertekuk ke belakang saat aku menggeliat dalam orgasme demi orgasme yang menderaku.
“Non amoy, sudah sering ya main beginian?”
“Sama siapa saja non?”
“Pernah nggak main sama tukang becak non?”
Aku malas menjawab pertanyaan pertanyaan yang amat melecehkanku ini. Nafasku masih tersengal sengal, capek sekali rasanya. Aku hanya berharap semua ini segera berlalu.
Tapi baru beberapa menit aku beristirahat, kurasakan rambutku sudah disibakkan dari punggungku. Kini punggungku diraba raba dan dibelai oleh mereka, membuatku sedikit kegelian juga.
Tangan tangan mereka mulai nakal, ada yang menyusup ke bawah mencari kedua payudaraku, dan tentu saja setelah mereka mendapatkan kedua payudaraku, remasan demi remasan langsung kurasakan, membuatku sedikit banyak kembali terangsang.
Tentu saja mereka tak puas dengan berbuat begitu saja, mereka terus membelai punggungku ke bawah, dan mulai meremasi kedua pantatku. Aku mendesah perlahan, dan tangan tangan mereka makin nakal saja. Kini kurasakan ada banyak jari yang menggelitik bibir liang vaginaku, membuatku mulai menggelinjang antara kegelian dan keenakan.
Kedua pahaku dilebarkan oleh mereka, dan sesaat kemudian, kurasakan ada satu jari tangan entah milik siapa, melesak masuk perlahan ke dalam liang vaginaku. Aku menggigit bibir ketika jari itu mengaduk aduk liang vaginaku.
Berikutnya tubuhku mengejang ketika kurasakan sebuah jari lain ikut masuk ke dalam liang vaginaku. Kini dinding liang vaginaku serasa dikorek korek dari berbagai arah, membuat desahanku semakin keras.
“Eengghhh…”, aku melenguh antara sakit dan nikmat ketika kurasakan ada satu jari lagi yang masuk, membuat liang vaginaku terasa sesak sekali. Tiga jari sekaligus sedang mengaduk aduk liang vaginaku, membuatku melayang dalam kenikmatan.
“Aduuuh…”, aku kembali harus memejamkan mata dan merintih.
Tubuhku menggeliat hebat karena tak kuasa menahan siksaan kenikmatan yang menderaku, ketika ketiga jari yang mengaduk aduk vaginaku itu bergerak ke arah yang berbeda dan berakibat liang vaginaku terasa seperti sedang dikuak lebar. Lagi lagi pinggangku harus melengkung ke belakang ketika aku menggeliat tadi, dan karena posisi tubuhku sedang rebah, maka kepalaku ikut terangkat.
Selagi tubuhku mengejang hebat seperti ini, kurasakan ada sesuatu yang menindih punggungku, dan ketika aku membuka mata, aku melihat sebatang penis yang begitu dekat dengan mukaku. Sesaat kemudian aku menyadari, rupanya pemilik penis ini duduk di depanku dan melingkarkan kedua kakinya pada leherku, menindih punggungku.
Dengan kesal aku mengarahkan pandanganku ke atas, mencoba mencari tahu siapa yang sedang seenaknya melecehkanku ini. Ternyata ini adalah ulah Bang Kasan. Diperlakukan seperti ini, aku merasa risih sekali dan aku mulai meronta, mencoba melepaskan diri dari keroyokan para pemerkosaku ini.
“Mau ke mana manis?”, ejek Bang Kasan.
Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan konyol ini, dan aku terus meronta. Tapi yang terjadi berikutnya adalah aku sudah tak mampu banyak bergerak karena kedua tanganku mendadak sudah terentang lebar, dengan kedua pergelangan tanganku yang sudah dicengkeram, entah oleh siapa.
Sedangkan penis itu mulai ditempel tempelkan pada mulutku oleh Bang Kasan, membuatku mulai merasa sedikit mual dan pening karena bau penis itu sungguh tak sedap.
Aku ingin memalingkan mukaku, tapi aku kemudian berpikir, lebih baik aku menuruti kemauan Bang Kasan dan membuatnya cepat orgasme, juga melayani dua tukang becak di belakangku yang kini sedang asyik mempermainkan liang vaginaku dengan jari mereka itu.
Maka aku menghela nafas panjang, memang tak ada pilihan lain bagiku selain membuka mulutku seperlunya dan membiarkan penis itu melesak masuk ke dalam mulutku. Aku mengulum penis pak Kasan sambil berusaha untuk tak memikirkan rasa ataupun bau yang menyengat dari penis ini.
“Emmphh…”, aku merintih tertahan.
Aku harus terus berjuang menahan kenikmatan yang melandaku karena liang vaginaku terus diaduk aduk tiga jari sekaligus, sampai sampai aku bisa mendengar bunyi kecipak segala cairan yang bercampur menjadi satu dalam liang vaginaku.
-x-
Bagian VII
Perlahan aku menggerakkan kepalaku maju mundur melayani Bang Kasan, tapi posisi tubuhku sekarang ini membuatku semakin lelah. Sementara itu Bang Kasan dengan kejam terus menekan nekan kepalaku ke arah selangkangannya, memaksaku terus mengoral penisnya, seolah sedang menyetubuhi mulutku saja.
Baru kusadari penis Bang Kasan ini tak seberapa panjang juga. Seluruh batang penisnya ternyata muat dalam kuluman mulutku, walaupun ujung kepala penisnya itu sesekali mendesak kerongkonganku.
Tapi diam diam aku jadi malu sendiri. Bagaimana mungkin, aku masih sempat memikirkan dan mengira ngira ukuran penis pemerkosaku? Bagaimana aku yang menerima pelecehan bertubi tubi dari mereka malah menikmati semua ini? Mengapa tubuhku sedemikan mudah ditaklukan oleh para pemerkosaku?
Lagi lagi gerakan gerakan tubuhku yang tertahan, ditambah pemerkosaan terhadap mulutku, juga adukan tiga jari sekaligus pada liang vaginaku, membuatku terangsang hebat. Tanpa bisa kutahan lagi, seluruh tubuhku rasanya mengejang mengiringi orgasme yang mulai menghinggapiku.
“Mmmhhh… mmhhhh…”, aku melenguh tertahan, kedua telapak tanganku terkepal erat selagi kedua pergelangan tanganku terbelenggu oleh cengkeraman tangan para pemerkosaku.
Kedua betisku berulang kali melejang lejang ketika rasa nikmat ini mulai menjalari sekujur tubuhku. Aku merasa liang vaginaku berdenyut tak karuan, cairan cintaku serasa membanjiri liang vaginaku yang entah sudah becek seperti apa.
Dan untuk menambah siksaan kenikmatan ini, kedua pergelangan kakiku kini dicengkeram erat, yang lagi lagi aku tak tahu oleh siapa. Kini gerakan betisku juga tertahan, sedangkan adukan tiga jari di dalam liang vaginaku ini makin gencar. Aku makin tak berdaya, pinggulku rasanya bergerak sendiri ke kanan dan ke kiri di luar kendaliku, sedangkan aku sendiri melayang dalam kenikmatan yang amat sangat.
“Ohhh… oohhh…”, kudengar Bang Kasan melolong.
Ia makin mempercepat sentakannya pada kepalaku ke arah selangkangannya, dan sama sekali tak memperdulikanku yang mulai kehabisan nafas. Untung saja, dari lolongan itu aku bisa mengira kalau Bang Kasan akan segera ejakulasi.
Kalau tadinya aku pasrah membiarkan penis itu mengaduk aduk rongga mulutku, kini aku mulai mengulum dan menghisap penis itu dengan kuat, dan seperti harapanku, Bang Kasan langsung melolong panjang dan penisnya berkedut keras.
Aku merasakan ada empat sampai lima semprotan sperma di dalam mulutku, dan kutelan semuanya dengan cepat agar aku tak perlu berlama lama merasakan lengketnya sperma ini dalam mulutku, dan juga rasanya yang agak sedikit amis membuatku sedikit mual.
Tapi aku masih menyempatkan untuk menghisap penis itu kuat kuat, hingga Bang Kasan melolong lolong minta dilepaskan.
Enak saja, pikirku. Kalau ada yang seharusnya memohon untuk dilepaskan, itu adalah aku.
Sampai beberapa saat aku terus menghisap penis itu, bahkan kugigit kecil hingga Bang Kasan menjerit, mungkin karena kesakitan. Setelah aku puas memberikan ‘hukuman’, barulah aku melepaskan hisapanku pada penis Bang Kasan, yang langsung buru buru beranjak meninggalkanku. Berikutnya kurasakan cengkeraman cengkraman pada kedua pergelangan tangan dan kakiku sudah dilepaskan.
Kepalaku langsung terkulai, rebah miring ke kiri di pembaringan ini. Rasanya lelah sekali setelah harus mengoral Bang Kasan sampai keluar tadi, dan aku mulai mencoba mengatur nafasku.
“Gila nih amoy, hobi amat nyepong…”, gerutu Bang Kasan.
Aku diam saja, diam diam merasa menang.
Kini aku memikirkan tentang dua orang lagi yang pasti belum puas karena hanya memasukkan jari mereka ke dalam liang kenikmatanku. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya dan aku hanya pasrah menunggu, sambil berharap semoga semua ini cepat berakhir, karena aku sudah amat lelah.
Kurasakan sebuah jari ditarik lepas dari jepitan liang vaginaku, hingga aku merasa sedikit lega, paling tidak liang vaginaku tidak terasa sesak seperti tadi.
“San, Kasan… sepongannya enak ya?”, kudengar suara yang mungkin suara Bang Dul.
“Enak gila Dul… rugi kalo gak nyoba… apalagi amoy ini doyan peju, punya gue tadi ditelan habis sama dia”, jawab Bang Kasan sambil tertawa tawa, membuat muka dan telingaku rasanya panas.
“Oh… non amoy doyan peju ya? Kalau gitu, sini sedot peju Bang Dul ya”, kata Bang Dul.
Berkata begitu, Bang Dul bersama Bang Darto yang sudah menghentikan aktifitasnya, kini membalikkan tubuhku hingga aku telentang di atas pembaringan ini.
Kini kedua kakiku sudah terangkat, dengan kedua betisku yang tertumpang pada pundak Bang Darto yang sudah siap untuk melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Berikutnya, Bang Dul berjongkok di samping kanan kepalaku, lalu mengangkat kepalaku sedikit hingga penisnya yang mengacung itu tepat menyentuh bibirku.
Rupanya mereka berdua hendak menikmati tubuhku bersamaan. Aku yang sudah terlalu lelah hanya pasrah menanti apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku.
“Engghhh…”, aku melenguh panjang ketika Bang Darto menghunjamkan penisnya ke dalam liang vaginaku.
Ketika mulutku terngangga karena aku melenguh kesakitan tadi, Bang Dul langsung memanfaatkan kesempatan untuk menjejalkan penisnya, membuat aku kelabakan dan nyaris tersedak.
“Ayo non amoy, dihisep!”, kata Bang Dul mengingatkan tugasku.
Aku terbelalak ngeri karena masih ada sekitar 5 cm lagi panjangnya batang penis Bang Dul di luar mulutku, entah sepanjang apa penis Bang Dul ini.
Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti kemauan Bang Dul. Penis itu mulai kujilat dan kuhisap, selagi aku harus berjuang menahan sakit tanpa mengeluarkan suara, ketika kurasakan siksaan mulai mendera selangkanganku.
Aku menggeliat kesakitan ketika penis Bang Darto mulai mengaduk aduk liang vaginaku. Rasanya sekarang ini liang vaginaku terisi penuh, dan tiap hunjaman batang penis Bang Darto menimbulkan rasa ngilu dan sakit, meskipun seharusnya sekarang ini liang vaginaku licin dan becek sekali dengan campuran sperma para pemerkosaku dan cairan cintaku sendiri.
Bang Dul segera menjadi tidak sabar, mungkin karena aku tak berkonsentrasi mengoral penisnya. Dengan kejam ia menekan nekan kepalaku ke arah selangkangannya, membuatku sesekali tersedak karena ujung kepala penis itu sesekali menusuk kerongkonganku.
Aku mencoba menenangkan Bang Dul dengan mulai berusaha mengoral penisnya sebaik mungkin. Batang penis itu kujilat memutar, lalu kukulum dan kuhisap perlahan. Sesaat Bang Dul menghentikan gerakan tangannya yang menekan kepalaku.
“Oohh… terus non…”, erang Bang Dul.
“Emmphh…”, aku juga harus mengerang kesakitan.
Penis yang sedang mengaduk aduk liang vaginaku ini cukup menyakitiku, mungkin karena selain ukurannya yang besar, pemiliknya menyentakkan penis itu dengan kasar.
Aku masih terus berusaha memaju mundurkan kepalaku di tengah penderitaan yang mendera selangkanganku, tapi lama lama aku tak tahan juga, nafasku tersengal sengal menahan sakit ini.
Setelah beberapa detik aku tak bisa mengoral penis Bang Dul karena mulutku ternganga ketika aku menahan sakit, Bang Dul kembali memperkosa mulutku, dan bersama Bang Darto mereka berdua segera mulai meluluh lantakkan tubuhku. Kini penis Bang Dul mulai menembusi ternggorokanku, membuatku semakin sulit bernafas.
Aku sudah dalam keadaan setengah sadar, lelah dan kesakitan. Aku memejamkan mataku dan pasrah dipermainkan oleh mereka berdua.
Tiba tiba kurasakan kedua payudaraku diremas remas dengan kasar, dan ketika aku membuka mataku sedikit, aku melihat dua telapak tangan di tiap payudaraku, entah tangan milik siapa, sedang meremas dan meremas seperti ingin menarik lepas payudaraku saja.
Aku tak bisa mengeluh melepaskan kesakitanku, tenggorokanku tersumbat oleh penis Bang Dul.
Remasan remasan itu makin keras dan menyakiti kedua payudaraku. Aku segera menggerakkan tanganku dan bermaksud menepis empat telapak tangan ini dari kedua payudaraku. Tapi rupanya mereka menyadari maksudku. Belum sempat aku berbuat sesuatu, aku merasakan kedua telapak tanganku bertemu dengan telapak tangan yang lain, dan kemudian genggaman erat kurasakan meremas kedua telapak tanganku.
Aku benar benar tak berdaya.
Hari ini seluruh tubuhku benar benar menjadi milik mereka, tanpa daya terseret kesana kemari mengikuti keinginan para pemerkosaku ini. Beberapa menit aku diperlakukan seperti ini, rasa sakit yang menderaku jadi tak begitu terasa lagi.
Dikerubuti dan diperkosa ramai ramai seperti ini, membuat gairahku naik kembali.
“Ooooh… non…”, tiba tiba Bang Dul mengerang panjang.
Penisnya yang sedang bersarang dalam tenggorokanku ini berkedut keras, dan sesaat kemudian penis itu menyemprotkan spermanya yang cukup banyak.
Ketika Bang Dul menarik lepas penisnya dari jepitan tenggorokanku, aku langsung tersedak dan terbatuk batuk. Sekuat tenaga aku berusaha mengambil nafas yang sejak tadi sulit sekali kulakukan ketika tenggorokanku dijadikan liang kenikmatan untuk penis Bang Dul ini.
Kini kepalaku terbaring lemah di atas pangkuan paha Bang Dul yang dalam keadaan terengah engah setelah memuaskan hasratnya memperkosa mulutku. Sedangkan penis Bang Darto masih terus memompa liang vaginaku, mulai memberikan sensasi ngilu yang nikmat pada selangkanganku.
Aku merasakan pipi kananku basah, ternyata penis Bang Dul sekarang menempel di pipi kananku, dan masih belepotan sperma. Merasa risih, aku memilih mencari kepala penis Bang Dul ini, dan segera mengulum penis itu. Hal ini kulakukan supaya pipiku tidak makin basah belepotan sperma itu.
“Wah gila, doyan amat sama peju non?”
“Habis ini punya abang juga ya non, tadi belum dapat nih”
“Punya abang juga lho”
Aku tidak perduli dengan semua ejekan cabul itu, dan aku terus menggerakkan lidahku untuk menjilat dan membersihkan penis Bang Dul. Sesekali kusedot penis itu hingga Bang Dul menggelinjang dan mengerang keenakan.
“Oooh… amoy satu ini benar benar sip…”, kata Bang Dul sambil beranjak meninggalkan diriku yang masih dikerubuti oleh rekan rekannya.
Sesaat kemudian kepalaku sudah berada di atas pangkuan lelaki yang lain lagi, dan aku sudah tak perduli dengan siapa saja yang memperkosa mulutku. Sekarang ini yang kupikirkan hanyalah semoga Bang Darto cepat selesai menikmati liang vaginaku, karena walaupun rasa nikmat itu mulai terasa di selangkanganku, rasa sakit yang masih menyertainya itu sungguh membuatku tidak nyaman.
Lagipula, aku sudah amat lelah, sejak tadi diperkosa bergantian seperti ini.
Beberapa kali penis di mulutku berganti setiap selesai menyemburkan spermanya, dan semua itu kutelan tanpa protes sedikitpun. Aku memilih menelan langsung daripada ada cairan yang keluar melalui sela bibirku dan membasahi daguku, selain itu juga supaya aku tak perlu berlama lama merasakan amisnya sperma sperma para pemerkosaku ini, yang juga terasa lengket sekali ini.
“Ooooh…”, aku berharap itu Bang Darto yang menggeram.
Ternyata benar, kurasakan penis yang sedang mengaduk aduk liang vaginaku itu berkedut keras dan menyemburkan sperma yang amat hangat, meringankan rasa pedih yang sejak tadi mendera liang vaginaku.
“Oooh.. memang enak memek kamu non”, kata Bang Darto dengan lemas.
Aku masih harus mengoral penis yang bersarang di mulutku sekarang, dan tak lama kemudian erangan dari pemiliknya, juga semburan sperma yang tak seberapa banyak itu mengakhiri adukan penis terhadap mulutku. Kutelan semuanya, kubersihkan semuanya, seolah itu memang kewajibanku.
Begitu penis itu lepas dari mulutku, penis Bang Darto sudah mengantri di depan bibirku yang terkatup untuk kubersihkan.
Aku sudah capek sekali, tapi aku tak punya pilihan lain dan kubuka saja mulutku untuk mengulum penis yang masih belepotan sperma dan cairan cintaku itu. Kubersihkan sebersih bersihnya supaya tidak ada protes darinya, dan setelah aku melepaskan penis itu, Bang Darto langsung terduduk lemas di lantai.
Kini tinggal remasan remasan pada kedua payudaraku yang masih terus menyiksa diriku. Aku sudah terlalu capek untuk memohon dua orang ini untuk berhenti, jadi aku kembali memejamkan mata, pasrah menunggu mereka berdua puas memainkan kedua payudaraku.
“Sudah, cukup bapak bapak”, kudengar Dedi berkata, dan sesaat kemudian remasan remasan pada kedua payudaraku juga berhenti.
Sudah cukup? Apakah ini berarti pemerkosaan ini juga berakhir?
“Sekarang, waktunya kamu membayar bapak bapak ini, ongkos untuk memuaskan kamu sejak tadi jam satu, Eliza”, kata Dedi.
Di tengah sorakan mereka berlima, aku menatap Dedi kesal. Tapi aku tahu lebih baik aku menepati janjiku, lagipula berarti memang ini adalah akhir penderitaanku, setidaknya untuk sekarang ini. Aku meraih dompetku di antara tumpukan baju seragam sekolahku, lalu sambil masih tiduran aku megeluarkan uang sesuai dengan jumlah yang harus kuserahkan pada mereka semua.
“Terima kasih non. Kapan kapan kita main lagi ya”, kata Bang Kasan setelah menerima selembar uang lima puluh ribuan dariku.
Ia mengecup bibirku sebelum menyingkir, dan aku diam saja.
“Terima kasih non”, kata Bang To, yang juga mengecup bibirku sebelum pergi meninggalkanku.
“Wah bener bener nih, terima kasih non”, kata Bang Har.
“Ooh…”, aku mengeluh perlahan ketika Bang Har dengan nakal mengulum puting payudaraku sebelum meninggalkanku.
Kemudian Bang Dul mendekatiku dengan bernafsu, membuatku sedikit bergidik saat menyerahkan uang padanya. Dan tanpa berkata apa apa, Bang Dul menindihku, menciumi wajahku dengan penuh nafsu.
“Bang… sudah… hentikan…”, aku memohon di sela cumbuan yang bertubi tubi dari Bang Dul ini.
Ia menghentikan cumbuannya, memandangku dengan penuh nafsu. Tapi ia kemudian mengambil uang ini, dan berlalu dari hadapanku. Kini Bang Darto, orang terakhir yang tadi memperkosaku, mendekatiku.
“Makasih non”, kata Bang Darto, dan setelah mengulum puting payudaraku yang sebelah kanan barang sejenak, ia juga pergi meninggalkanku.
Kini, tinggal Dedi yang berada di ruangan ini selain aku. Tentu saja aku tak ingin berlama lama berada di dalam ruangan ini, hanya berduaan dengan Dedi. Aku segera bangkit berdiri untuk memakai baju menutup tubuhku yang telanjang bulat dan hancur hancuran dinodai oleh 7 orang tadi.
“Aduh…”, aku terjatuh tanpa bisa menahan tubuhku.
Kedua kakiku gemetaran, dan tak kuat kupakai untuk berdiri. Kini aku terduduk di lantai, dan tak ada yang bisa kulakukan ketika Dedi mendekatiku. Ia masih telanjang bulat, sama sepertiku. Perlahan ia meraih pergelangan tanganku dan mengalungkan di lehernya. Lalu ia membantuku berdiri, kemudian membaringkan tubuhku yang masih lemas ini di pembaringan.
“Sekarang puas kan kamu Ded, melihat aku seperti ini?”, aku membentak ketus.
Dan Dedi menjawab dengan melumat bibirku, mesra. Aku sampai memejamkan mataku, pasrah saja menikmati ciuman ini. Tak lama kemudian Dedi sudah menindihku, dan mulai mempermainkan gairahku. Kedua payudaraku diremasnya lembut, kemudian setela ia puas melumat bibirku, ciumannya berlanjut ke daguku, leherku, dan berhenti sejenak di payudaraku sebelah kiri.
“Oooh…”, aku mengeluh nikmat ketika Dedi mulai mengulum dan menghisap putting payudaraku yang kiri ini.
Aku tak tahu apa yang membuatku meraih kepala Dedi dengan kedua tanganku, tapi sekarang ini aku malah sedikit menekan kepala Dedi ke arah payudaraku, bahkan aku mulai meremasi rambut di kepala Dedi.
“Mmmh…”, aku merintih keenakan merasakan cumbuan Dedi yang makin ganas.
Puting payudaraku digigit kecil oleh Dedi, lalu dihisapnya kuat kuat. Aku sampai menggeleng gelengkan kepalaku sejadi jadinya, tak tahan menerima siksaan kenikmatan ini. Lalu Dedi berpindah dari payudaraku yang kiri ke kanan, dan ia juga menggoda payudaraku yang kanan dengan cara yang sama. Aku mulai tak tahan dengan semua cumbuan ini, dan sesekali tubuhku mengejang menikmati semuanya ini. Nafasku juga mulai memburu tak karuan, dan aku menatap ke arah Dedi dengan sayu.
“Oooh… Deed…”, aku menggelinjang kegelian ketika Dedi melanjutkan cumbuannya ke perutku.
“Cantik… perutmu ini indah sekali…”, kata Dedi di sela cumbuannya itu.
Aku menggeliat antara geli dan nikmat. Cumbuan Dedi ini benar benar membuatku takluk, dan aku berkali kali mendesis dan merintih keenakan. Ia menjilati dan kemudian memagut pusarku kuat kuat, dan sekarang aku tak bisa lagi berpikir dengan jernih.
“Deed… enaak…”, aku merintih.
Tak ada jawaban dari Dedi. Yang kudapatkan hanyalah cumbuan Dedi yang makin merangsang gairah birahiku.
Kecupan demi kecupan itu turun ke arah selangkanganku, tapi tak kurasakan kecupan pada bibir liang vaginaku, padahal aku ingin sekali merasakan cumbuan di daerah itu.
“Ded…”, aku mengeluh lemah.
“Kenapa cantik?”, jawab Dedi dengan suara berat, tanda dia juga dalam keadaan terangsang hebat.
“Aku…”, kata kataku terhenti.
Aku tak bisa meneruskan kata kataku. Masa aku yang meminta Dedi mencumbui liang vaginaku? Mau aku taruh di mana mukaku? Bagaimanapun aku masih berusaha mencoba menahan jatuhnya harga diriku.
Dedi melebarkan dan membelai kedua pahaku. Entah apa yang ingin dilakukannya, sekarang kurasakan cumbuan di sekitar bibir liang vaginaku tanpa sedikitpun menyentuhnya, membuatku hampir gila. Aku menginginkan cumbuan Dedi di sana, tapi ia seperti sedang menggodaku.
Lalu cumbuan itu berlanjut ke sisi dalam kedua pahaku. Dedi dengan nakal menjilati bagian itu, membuatku merintih dan menggigil. Sekarang ini aku benar benar sudah terbakar nafsuku sendiri, jantungku berdegup dengan sangat kencang, sementara mukaku terasa panas dan seluruh tubuhku bergetar menahan nikmat.
“Oooh…”, lagi lagi aku merintih keras ketika Dedi menjilati kedua betisku bergantian.
“Ada apa cantik?”, bisik Dedi dengan nada yang sangat menggodaku.
“Aku… enggak… oh… terserah kamu Ded…”, aku meracau tak karuan saat Dedi mengulum jempol kakiku.
Dedi benar benar membuatku gila. Aku menggigit bibirku dan tubuhku gemetar dalam kepasrahan total.
Dan entah bagaimana, bahkan kali ini aku sampai dibuatnya orgasme tanpa penetrasi. Tubuhku mengejang hebat. Kupejamkan mataku kuat kuat, mungkin sekarang ini tubuhku melengkung sexy.
Kedua betisku serasa kaku setelah melejang tak karuan. Kurasakan cairan cintaku membanjir deras, rasanya seperti sedang kencing saja. Liang vaginaku berdenyut denyut tak karuan, seperti akan meledak saja.
“Cantik, memekmu basah sekali”, kudengar suara Dedi.
Aku tersenyum malu ketika melihat Dedi menatapku dengan pandangan menggoda.
“Jadi bagaimana dong?”, kataku mencoba memancingnya walaupun akibatnya sekarang aku memalingkan wajahku dengan rasa malu sekali.
“Jadi…”, kata Dedi dengan suara berat sambil memandang selangkanganku dengan nafas memburu.
Dan ketika Dedi beranjak ke arah selangkanganku, jantungku berdebar kencang dan aku memandangnya dengan penuh harap semoga ia akan mencumbui liang vaginaku, atau mengaduk dengan jarinya, atau bahkan kalau mungkin ia mau menggagahiku lagi.
“Anghk… auww…”, aku melenguh manja.
Dua jari tangan Dedi sekarang ini bermain di dalam liang vaginaku, mengaduk aduk dengan nakal. Aku menggeliat keenakan menikmati semua ini.
Dedi dengan seenaknya mencabut dua jari tangannya itu dari liang vaginaku, kemudian ia langsung mencelupkan kedua jari itu kembali ke dalam liang vaginaku, berkali kali keluar masuk seperti sedang memompa liang vaginaku saja. Aku hanya bisa menggelepar dan menggelinjang sejadi jadinya.
“Oh… ampun Deed”, aku mengerang pasrah dijadikan bulan bulanan oleh Dedi.
Dedi tanpa menghentikan siksaannya pada liang vaginaku, kini sudah merebahkan tubuhnya di samping kananku. Tangan kiri Dedi merengkuh dan memangku kepalaku di atas lengannya. Aku memejamkan mataku menikmati remasan telapak tangan Dedi yang berhasil meraih payudaraku yang kiri ini, sellagi liang vaginaku terus diaduk aduk dengan gencar olehnya.
Aku menoleh ke arah Dedi dengan pandangan sayu, ketika Dedi berhenti mengaduk aduk liang vaginaku.
“Cantik…”, bisik Dedi.
Aku memalingkan mukaku dari pandangan Dedi dengan rasa malu dan jengah.
“Kamu benar benar hot tadi sayang…”, bisik Dedi lagi, membuatku semakun malu, dan aku menggigit bibir menahan senyum.
“Sudah Ded, sampai kapan kamu mau menyekap aku di sini?”, kataku dengan ketus dan menatapnya dengan pura pura marah.
“Iya cantik, kamu sudah boleh pulang kok”, kata Dedi sambil mendekatkan jari tangannya yang masih basah oleh campuran sperma dan cairan cinta di dalam liang vaginaku tadi, ke depan bibirku.
Aku membuka mulutku kecil, membiarkan jari itu masuk dan menari nari di atas lidahku. Kuhisap perlahan dan kujilat sampai bersih, dan itu adalah akhir dari pembantaian terhadap diriku di siang hari ini.
Dedi beranjak dari sampingku, memakai semua bajunya, dan ia mengambil bra dan celana dalamku yang tadi tergeletak di pojok ruangan ini. Ia memasukkan kedua pakaian dalamku yang sudah rusak itu ke dalam tasnya.
“Mau apa kamu Ded dengan bra dan celana dalamku itu?”, aku bertanya ketus.
“Buat kenang kenangan, cantik”, kata Dedi dengan enteng.
Aku diam saja, dan kemudian aku juga meraih baju seragam sekolahku. Aku duduk dan memakai baju itu, lalu aku mencoba berdiri. Ternyata sekarang aku sudah cukup kuat untuk berdiri, walaupun kedua kakiku masih agak gemetar. Lalu aku memakai rok seragam sekolahku, dan memasang sabukku.
Entah nanti bagian belakang rok ini akan basah seperti apa, karena memang seperti kata Dedi tadi, aku bahkan merasakan aliran cairan pada selangkanganku. Rasanya becek sekali.
Aku berusaha untuk tak memikirkan hal ini. Sekarang aku sudah duduk untuk memakai kedua kaus kakiku, dan setelah mengenakan kedua sepatuku, aku berdiri lagi. Dompetku kuambil dan kubuka, kukeluarkan selembar uang lima puluh ribuan untuk membayar pak Jamil, membayar biaya memperkosa diriku ini.
“Ded, kamu sudah melihat tubuhku, sekarang pun kamu sudah lihat aku memakai seragam sekolah tanpa bra. Kalau celana dalam, itu terserah kamu. tapi tolong Ded, masa kamu melarang aku pakai bra di sekolah…”, aku mencoba memohon tentang yang satu ini.
Dedi menatapku sejenak, lalu ia menatap ke arah dadaku, membuatku merasa seperti ditelanjangi.
“Ok deh cantik, Sabtu nanti kamu boleh pakai bra…”, kata Dedi sambil mengangguk, walaupun ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Aku bernafas lega mendengarnya, tapi aku berusaha untuk tidak tersenyum.
“Tapi besok dan Sabtu kamu tidak boleh pakai celana dalam di sekolah”, kata Dedi.
Aku agak tercekat mendengarnya.
“Besok? Kamu mau apa Ded? Belum puas kamu menyiksa aku hari ini?”, tanyaku memelas.
“Pokoknya kalau besok kamu pakai celana dalam, aku akan memberi hukuman berat, cantik”, kata Dedi sambil tersenyum, yang bagiku itu adalah senyuman yang mengerikan dan penuh ancaman.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
Lalu Dedi keluar dari gubuk ini. Aku mengikutinya keluar, dan di depan pak Jamil sudah menunggu sambil cengengesan. Aku memberikan uang yang sudah kusiapkan ini padanya, dan tanpa berkata apa apa lagi aku menuju ke arah mobilku.
“Sampai ketemu lagi non amoy”, kata pak Jamil yang masih berdiri di depan gubuknya, membuatku menoleh.
Aku melihat ia melambaikan uang yang tadi kuberikan, lalu mencium uang itu seperti sedang memberikan ciuman jarak jauh kepadaku.
Dengan kesal aku membuang muka, dan masuk ke dalam mobilku. Aku melihat Dedi sudah melaju dengan motornya, tanpa melihatku.
Perduli amat, aku menyalakan mesin mobil, dan melaju pulang ke rumah.
Rasanya lelah sekali setelah diperkosa lima orang tukang becak, seorang tukang tambal ban, dan seorang teman sekolahku. Cairan di selangkanganku masih terasa begitu banyak. Aku berusaha berkonsentrasi menyetir mobilku, walaupun aku agak kesal juga kalau memikirkan biaya tambal ban yang mahal itu.
0 komentar:
Posting Komentar