Cinta Pada Pandangan Pertama
Suasana ramai riuh di sebuah taman. Banyak kerumunan di sekitarnya. Orang-orang berlalu-lalang melintasi jalanan dengan langkah santai. Seolah menikmati malam di taman kota. Ada yang berbicara pada ponsel yang tertempel di telinga. Ada juga yang asyik bercengkerama, bergandeng tangan dan terikat obrolan interpersonal berdua. Taman kota memang tak pernah terlihat sepi dari para pengunjung, bahkan semakin malam pengunjung taman semakin ramai dan padat saja.
Taman yang luas dan sejuk dengan kelap-kelip lampu di malam hari memang terlihat menawan. Ditambah lagi, sinar bulan purnama di langit gelap membiaskan sinar anggun yang menambah suasana elegan di taman itu.
Di sudut taman, seorang laki-laki tampak duduk sendirian. Ia duduk menyandarkan tubuhnya yang tampak letih di sebuah bangku panjang yang ia duduki sendiri. Di bawah pohon beringin yang rindang, laki-laki itu melepaskan keletihan yang hampir membekas. Ia juga tampak menikmati ramainya dan indahnya malam itu. Semilir angin berhembus ke arahnya dan sedikit mengurangi keluh keringat yang sedari tadi berkucuran di tubuhnya.
Sedikit mulai tenang, dan menikmati suasana malam yang menawan di taman itu. Telinganya menangkap samar-samar selarik musik klasik. Buru-buru matanya berkeliaran mencari arah datangnya musik klasik yang menjadi kesukaannya itu. Berhenti berkeliaran, pandangannya lurus ke arah air mancur, tepatnya di bawah sinaran lampu di di sisi kiri air mancur. Kerumunan orang sedang mengepung sesuatu, seolah tak ingin kehilangan apapun yang ada di sana. Laki-laki itu tertarik dan menghampirinya.
Musik klasik yang awalnya hanya terdengar selarik. Semakin lama mengalun lembut dan terdengar keras, ketika langkahnya semakin dekat. Tiba di kerumunan, ia sedikit mengintip dan mencari celah-celah untuk bisa melangkah ke depan. Untung tubuh kecilnya mampu membuatnya melangkah ke depan dengan mudah.
Gadis berambut ikal dengan topi yang melekat di rambutnya itu tengah memainkan biola klasik dengan khidmat. Sambil memejamkan matanya, seolah ia mengikuti alunan musik dan menyerap setiap nada yang tercipta. Sesekali, tertangkap suara merdu terlontar darinya yang juga mengejutkan penonton yang menyaksikannya. Sungguh pertunjukan yang menarik, musik biola itu mengalunkan musik klasik bernuansa romantis nan elegan, hingga mampu menyihir pengunjung untuk tidak melewatkan pertunjukkan malam itu.
“Gadis itu sungguh luar biasa, dia membuatku terbawa suasana.” Kata seorang gadis yang berdiri di samping laki-laki itu.
Laki-laki sedikit mendengar kata-kata gadis di sampingnya. Ia menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil. Permainannya memang sangat bagus dan menakjubkan hingga membuat banyak orang terkesima melihatnya. Termasuk dia.
Alunan musik memelan dan akhirnya berhenti. Para pengunjung bertepuk tangan dan bersorak meriah. Para pengunjung benar-benar terhibur. Orang-orang meletakkan uang mereka di sebuah tempat yang telah tersedia dan pergi. Begitu halnya dengan laki-laki itu. Tapi bukannya uang yang ia letakkan. Sebotol air mineral ia letakkan bersama ceceran uang lainnya. Gadis yang awalnya hanya menunduk, ia mengangkat kepalanya memandang wajah laki-laki yang berdiri di depannya. Bola mata yang tadinya tertutup oleh kelopak mata, akhirnya terlihat bersinar menyorot ke arah mata laki-laki itu.
Sejenak, mata mereka saling bertemu. Menatap satu sama lain.
“Ini untukmu, tenggorokanmu pasti kering.” Laki-laki itu menajamkan pandangannya pada gadis itu dan mencoba berinteraksi dengannya.
Gadis itu bersaut kata apapun, ia hanya membalasnya dengan mengulas senyum lebar yang membuat lesung pipitnya terlihat.
Kecanggungan dengan cepat menyergap hatinya, ketika menangkap senyum lebar gadis itu. Entah sesuatu mengingatkannya pada senyum itu. Senyuman itu mengingatkannya pada sosok wanita tua yang tengah ia bayangkan dalam benaknya.
“Terima kasih, aku pergi dulu.” Seru gadis itu yang telah selesai merapikan perlengkapannya. Kemudian ia melaju ke arah gerombolan pengunjung taman. Tas biolanya sudah ia sangga di pundaknya
“Tunggu!!!!” Laki-laki itu berteriak sekeras mungkin, namun suaranya tak cukup mengalahkan ramai riuhnya suasana taman.
Gadis itu sepertinya tak mendengar suara teriakannya. Gadis itu tetap melaju tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.
Waktu berjalan dengan cepat, dia telah lenyap di balik punggung-punggung pengunjung taman. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu, namun ingin sekali rasanya ia bertemu kembali dengan gadis itu. Ada sesuatu yang menggumpal di dalam hatinya tentang diri gadis itu. Sosok yang membuatnya terkesima dalam hitungan detik. Senyum lembutnya menggambarkan betapa lemah hatinya. “Aku ingin mengenalnya.”
Di suasana malam, waktu yang sama, namun dengan hari dan tanggal yang berbeda. Laki-laki itu kembali menampakkan wajahnya di tempat kemarin. Tempat dimana ia bertemu dengan gadis itu. Dari tempatnya, ia bisa mendengar alunan musik klasik yang sama dengan kemarin. Ia menghampiri kerumunan itu. Persis seperti kemarin, laki-laki itu menerobos kerumunan penonton hingga mencapai baris depan dengan mudah. Gadis berkaos putih itu mulai bernyanyi dengan iringan musik klasik bernuansa romantis. Namun, hal tak terduga membuat laki-laki itu membelalakkan kedua matanya. Gadis itu bukanlah gadis yang ia temui kemarin. Dia gadis yang berbeda. Laki-laki itu bisa merasakan luapan perasaan kecewanya bahwa bukan gadis kemarin yang ia tonton, melainkan orang lain.
Dengan penuh kekecewaan, laki-laki itu memasang wajah lesu menyingkir dari kerumunan penonton. “Hmmm… apa yang terjadi? Kenapa bukan dia yang tampil?”
Muka yang tertunduk kecewa, laki-laki tak ada kebutuhan lagi untuk tetap berada di sekitar taman itu. Ia berjalan meninggalkan area taman menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh darinya berjalan. Ia mempercepat geraknya.
Langit terbentang luas tak terbatas, dihiasai berjuta bintang-bintang kecil yang bertaburan seperti berlian. Pemandangan malam yang indah. Gadis berambut ikal yang tengah didambakan kehadirannya oleh laki-laki yang bernama Tara. Ia mengenakan gaun pendek berwarna hijau toska sederhana. Sepatu hak tinggi yang dikenakannya menambah keanggunan dalam dirinya.
Gadis itu duduk di halte bus sendirian. Menghirup udara yang berhembus dingin. Sapuan angin malam terasa menyentuh kulitnya dingin. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia tengah menggigit bibirnya sembari menahan tangis yang tertahan di pelupuknya.
Tara, ia sedang melajukan mobilnya di jalanan. Mobilnya melewati halte bus. Sekelebat, matanya menangkap sosok gadis yang didambakannya duduk di sebuah halte. Refleks, dia mengambil rem kuat-kuat dan berhenti secara mendadak. Ia memutuskan untuk turun dari mobilnya dan menghampiri gadis itu.
Duduk di samping gadis itu. Ia menajamkan matanya, menyaksikan air mata gadis itu mengalir di pipinya. Tara duduk terpaku menatap gadis yang mengenakan gaun yang tak kuasa menahan dingin udara malam. Hembusan angin seakan menguliti hidup-hidup malam itu, dan gadis itu hanya mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya. Tak bisa menahannya lagi, Tara melepaskan jaketnya, lalu ia selimuti ke tubuh gadis itu.
Gadis itu menoleh ke arha Tara. Matanya menatap Tara dengan pandangan nanar, dimatanya menggambarkan sorot bayangan kekecewaan yang masih membekas. Ia menghapus air matanya. Ia tidak ingin ada orang yang tahu kesedihan hatinya.
“Kamu?” suara lirih gadis itu
“Hai, kita bertemu lagi.” Ujar Tara yang sembari mengulas senyum.
“Sedang apa kamu di sini?” Tanya gadis itu menyelidik.
“Ehhhh, pertanyaan itu seharusnya kutanyakan padamu. Apa yang sedang kamu lakukan di sini dengan mengenakan gaun itu?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengenakannya saja.”
“Baiklah… aku mengerti.” Tara melihat kebohongan di mata gadis itu, tapi ia lebih baik diam karena bukan zonanya untuk mencampuri pribadi gadis itu. “Boleh aku menemanimu di sini?”
“Silahkan.” Balas gadis itu.
“Aku Kasih.” jawab gadis itu sembari merengkuh tangan Tara.
“Nama yang indah.” Senyum Tara melebar. “Aku akan senang jika kita bisa bertemu lagi, apa kamu mau?” Ungkap Tara.
“Ya, boleh. Kamu datang saja ke taman di tempat yang sama dengan kemarin.” Ujar Kasih.
“Tapi hari ini, bukan kamu yang bermain di sana.”
“Setiap hari Sabtu aku tidak bermain. Aku hanya ada di sana setiap hari Minggu sampai Jum’at.”
“Ah jadi begitu.”
Busway datang. Kasih beranjak dari tempatnya. Ia menaikkan satu kaki ke atas busway. Badannya ia putar ke arah Tara. “Senang bertemu denganmu, Tara.” Gadis berambut ikal itu pun naik ke bus. Dari barisan belakang jendela bus, Tara bisa melihat gadis itu duduk menatapnya sembari mengulas senyum lebar. Lalu ia melambaikan tangannya, tersenyum padanya. Wajahnya seolah berbinar-binar saat ia tersenyum dan sesuatu mendadak menyengat jantung Tara. Hangat dan bahagia. Dan merasakan hal yang dongkol saat bus itu meninggalkan halte. Ia tak bisa lagi menyaksikan senyum lebar gadis itu.
|
0 komentar:
Posting Komentar