"Bukan semata soal kasus Meiliana. Ini soal masa depan Indonesia yang majemuk, yang saat ini nyesek karena kasus Meiliana," ujar Cak Imin lewat akun Twitternya, Kamis (23/8/2018).
Itu merupakan cuitan pertama Cak Imin setelah akun Twitternya di-suspend. Cak Imin ikut menyuarakan agar Meiliana dibebaskan setelah divonis sebagai penista agama.
"#BebaskanMeiliana. Ayo biasakan mengatasi semua masalah dengan musyawarah," tutur Wakil Ketua MPR itu.
Meiliana dianggap menghina agama setelah mengeluhkan volume suara azan yang dinilainya terlalu keras. Perkara ini berawal dari keluhan Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, kepada tetangganya.
"Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut," kata Meiliana kepada tetangga seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa.
Setelah itu, tetangga meneruskan ke pengurus masjid, yang kemudian mendatangi rumah Meiliana. Namun tanpa diduga pertemuan tersebut membuat masalah jadi kian rumit, lalu menggelinding bak bola salju.
Keluhan terdakwa ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan membakar 14 vihara umat Buddha. Pihak keluarga sempat meminta maaf. Namun upaya rekonsiliasi bertepuk sebelah tangan.
Komisi VIII DPR RI yang membidangi agama menilai protes Meiliana bukan bentuk penistaan agama. Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid, protes tersebut bisa dicarikan jalan keluar tanpa melalui jalur pengadilan.
"Kalau benar kasusnya mengeluhkan volume suara azan, bukan penistaan agama. Dan itu diselesaikannya bukan di pengadilan, tapi melalui musyawarah RT, RW atau tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat untuk saling menghargai dan saling memahami," kata Sodik saat dimintai tanggapan detikcom, Rabu (22/8).
Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas juga menilai hal yang sama. Menurutnya menyatakan suara azan terlalu keras bukan penistaan agama.
"Mengatakan suara azan terlalu keras menurut pendapat saya bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," ujar Robikin dalam keterangannya, Rabu (22/8).
"Masyarakat kita sebaiknya memang dibiasakan, perbedaan pendapat itu dibiasakan. Inilah perlunya pendidikan yang berkualitas yang mengatakan bahwa kita hidup ini tidak hanya golongan kita saja, kelompok kita saja, ada orang lain yang perlu kita hargai. Oleh karena itu, menurut saya, hukumannya jangan terlalu berat seperti itu," papar Dadang.
0 komentar:
Posting Komentar